Tulisan
ini ku temukan dari potongan lembaran koran Kompas.
Tapi aku tak tahu edisi tanggal berapa, yang pasti sebuah artikel di Kompas bernama "ULTIMATE-U with Rene
Suhardono". Karena bagus, ku gunting. Oke, langsung saja.
Anak saya, Priyanka, sedang menikmati membaca
dan menulis. Dalam usia 6 tahun, saya lihat dia jauh lebih hebat dibandingkan
saya yang baru benar-benar bisa membaca saat berumur 8 atau 9 tahun. Kami punya
kebiasaan untuk saling meninggalkan surat setiap kali saya hendak bepergian
keluar kota. Saya selalu membawa surat yang ditulisnya di dalam dompet untuk
dibaca ulang setiap kali merasa kangen. Sementara itu, Priyanka biasanya
memamerkan surat saya pada istri saya, @yamunaa, guru-guru, dan teman-temannya.
Entah apakah dia sudah paham tulisan saya atau tidak. Kalau ada stu kebiasaan
yang ingi saya tanamkan sedari kecil pada anak-anak saya adalah keasyikan
membaca dan menulis. Kebiasaan menjadi "kutu buku" telah banyak
membantu saya melalui masa-masa paling sulit, selain juga memberikan ide-ide
terobosan dalam karier dan kehidupan. Namun yang terpenting, membaca buku bagi
saya selalu mendatangkan kenikmatan luar biasa.
Knowledge comes, but wisdom lingers. Start with
reading & proceed with writing. Membaca mambuka pintu ilmu untuk
mengetahui hal-hal baru, memahami budaya dan pemikiran sesama manusia, serta
menjelajahi kisah cerita. Sementara itu, menulis membuka pintu hati untuk
mengeksplorasi kedalaman pemikiran dan perasaan diri. Saya tidak pernah
membayangkan jadi penulis buku yang diterbitkan. Saya juga tidak pernah
merencanakan bisa diberi kesempatan menulis kolom mingguan di harian Kompas yang legendaris ini. Titik awal semua
berkah yang senantiasa saya syukuri ini adalah saat saya memutuskan untuk
menulis. Apakah anda telah memutuskan untuk hal yang sama?
Clear writing is a sign of clear thinking.
Pikiran manusia umumnya seperti kutu loncat yang berlompatan ke sana kemari
tanpa henti. Saya pernah membaca kalau manusia normal memikirkan 10.000-15.000
pemikiran setiap hari. Bayangkan betapa riuh dan bisingnya isi kepala kita?
Satu hal yang saya kagumi dalam diri para penulis andal, seperti @deelestari,
@sittakarina, @pandji, adalah kejernihan pemikiran mereka. Tidak pernah mudah
membuat orang lain mengerti dengan
tulisan. Tidak pernah gampang merangkai kata-kata menjadi tulisan apik dan dan
menjadi cerita yang menggugah. Menjadi penulis mengajari saya untuk lebih
memahami cara-cara berpikir, berkontemplasi, dan berkomunikasi dengan lebih
baik.
Writing is never about knowing― it is about sharing
& caring. Tempo hari
saya berkesempatan bertemu dengan para penulis muda @onlyricky, @bungamega,
@marrywhoanna, @anitacynthia untuk bertukar pikiran soal seluk beluk menjadi
penulis. Ada satu kesamaan di antara para perangkai kata, yaitu keinginan untuk
berbagi dan kepedulian untuk berkontribusi melalui tulisan.
Writing is about leaving our footprints
in life ― it's about our legacy. Kelaziman menulis paling tidak
seharusnya terangkat dalam era digital sekarang. Jutaan blogger Indonesia
selain jutaan pengguna facebook, twitter, dan mailing list adalah bukti budaya
menulis yang tidak akan pernah hilang, bahkan semakin menggelora.
Sahabat saya, Bapak Blogger Indonesia, @enda, pernah
memaparkan dalan suatu kesempatan bahwa apa pun yang ditulis di dunia maya bisa
jadi akan abadi dan merupakan rekam jejak kemanusiaan paling nyata. Apabila
benar demikian, kalimat latin ini terasa sangat sesuai: Semper letteris
mandate ― Sic transit gloria
mundi.
Rene Suhardono ―
CareerCoach
Penulis
buku: "Your Job is NOT Your Career"
twitter:
@reneCC
イエイ \(^0^)/
BalasHapusLike This!!!
Hapus