Sepertinya,
komentarku di bawah terhadap artikel ini tak kalah panjang daripada artikelnya
sendiri. ^^
Oleh
Lylah M. Alphonse
Kita
sering berpikir bahwa kita membuat keputusan berdasarkan mana yang baik dan
mana yang buruk — dan itu memang benar. Namun menurut penelitian terbaru,
pilihan kita mungkin juga dipengaruhi penggunaan tangan yang dominan, entah
kita kidal atau tidak.
Hal
itu karena orang-orang yang menggunakan tangan kanan lebih sering memerhatikan
sisi kanan halaman atau layar, sementara orang kidal memerhatikan sisi kiri.
Peneliti kognitif Daniel Casasanto dari The New School for Social Research
mengatakan bahwa ini dinamakan "hipotesis kekhususan tubuh", alias
sebuah pendapat bahwa tubuh fisik kita memengaruhi keputusan yang kita buat dan
cara kita berkomunikasi satu sama lain.
Salah satu cara yang paling mudah untuk menerapkan hipotesis ini adalah dengan melihat apakah seseorang itu kidal atau tidak.
Salah satu cara yang paling mudah untuk menerapkan hipotesis ini adalah dengan melihat apakah seseorang itu kidal atau tidak.
"Melihat
tangan mana yang dominan sangat mudah dijadikan parameter karena mudah
dilakukan. Tangan kita sangat penting dalam menentukan bagaimana kita
berinteraksi dengan dunia," ujar Casasanto pada MSNBC.
Dalam
penelitiannya, yang dipublikasikan dalam edisi terbaru Current Direction in
Psychlogical Science, sebuah jurnal dari Association for Psychological Science,
Casasanto menemukan bahwa orang-orang cenderung memilih hal yang mereka lihat
dan rasakan dengan sisi yang sama dengan tangan mereka yang dominan.
"Orang-orang
lebih menyukai hal yang dapat dengan mudah ditangkap dan ditanggapi,"
ujarnya. Pengguna tangan kanan berinteraksi dengan lingkungannya lebih mudah di
sisi kanan daripada sisi kiri, jadi mereka mengasosiasikan "baik"
dengan "kanan" dan "buruk" dengan "kiri","
jelasnya.
Sekitar
90 persen orang di dunia menggunakan tangan kanan, jadi orang-orang yang ingin
menarik konsumen, menjual produk atau dipilih dalam pemilu harus
mempertimbangkan bahwa sisi kanan layar komputer atau halaman merupakan tempat
yang tepat," imbuhnya.
Kita
bahkan cenderung untuk menggunakan sisi dominan kita untuk membedakan pandangan
postif dan negatif. Pada tahun 2004, calon presiden John Kerry dan George W.
Bush — keduanya menggunakan tangan kanan — lebih sering membuat gerakan dengan
tangan kanan ketika mengungkapkan pemikiran positif.
Pada
tahun 2008, Barack Obama dan John McCain, keduanya kidal, lebih sering
menggunakan tangan kiri ketika mengungkapkan sesuatu yang positif.
Asosiasi
tentang kepositifan tersebut memengaruhi pilihan yang dibuat orang dalam
keseharian. Ketika Casasanto bertanya pada peserta penelitian mengenai produk
yang ingin mereka beli, pekerjaan yang ingin mereka pilih, atau orang asing
yang bisa mereka percaya, responden dengan tangan kanan lebih sering memilih
pilihan yang berada di sisi kanan, sementara yang kidal memilih sisi kiri.
Pengaruh
tersebut juga berlaku dalam kehidupan keseharian di luar ranah fisik,
memengaruhi pemikiran abstrak tentang kepintaran dan kejujuran. Yang berarti
bahwa itu memengaruhi sikap kita dalam memahami orang lain.
"Sering
kita merasa memahami satu sama lain karena cara orang memaknai suatu hal hampir
sama dengan yang kamu pahami. Namun itu tidak pernah sama persis. Pemahaman di
pikiranmu bergantung pada kebiasaan tubuhmu."
Namun
kebenaran penelitian ini tidak selalu absolut. Orang-orang yang lebih dominan
menggunakan tangan kanan namun jarang menggunakan tangannya tersebut, bahkan
secara sementara, mulai mengasosiasikan "kebaikan" dengan
"kiri" dan tidak lagi dengan "kanan."
Komen:
Aku
hanya ingin berkomentar hal lain, menyangkut penelitian. Bukan tentang kebaikan
tangan kanan maupun tangan kiri. Di sini terbukti bahwa, penelitian sekecil
apapun, dapat membawa dampak yang besar jika kita jeli melihatnya, dalam arti
memanfaatkan hasilnya. Di sana ditulis, "Sekitar
90 persen orang di dunia menggunakan tangan kanan, jadi orang-orang yang ingin
menarik konsumen, menjual produk atau dipilih dalam pemilu harus
mempertimbangkan bahwa sisi kanan layar komputer atau halaman merupakan tempat
yang tepat". Nah, inilah yang perlu dimanfaatkan. Kebayang kan
kalau saat pemilu, hal ini juga mendapat perhatian, mereka akan mendulang suara
lebih banyak.
Aku
teringat saat membuat skripsi dulu. Meneliti karya sastra, sudah menjadi
rahasia umum kalau hasilnya tidaklah se'prestise' kalau meneliti virus dalam
ilmu kedokteran, misalnya. Begitulah pendapat publik. Tapi, pernahkah kita
berpikir bahwa hasil dari sebuah analisis karya sastra membawa dampak yang
besar?
Saat
itu aku menggunakan teori strukturalismenya Levi Strauss. Saat membaca suatu
tesis di sebuah PT di Yogya, yang juga menggunakan teori yang sama, lalu
membaca hasilnya. Aku pun bergumam, wah ini bisa dimanfaatkan sebuah partai politik atau pebisnis kalau
mereka mau. Intinya, dari hasil penelitian itu, terkuaklah karakter orang Jawa
itu seperti apa, dan hal-hal apa saja yang dapat menarik hati mereka. Kebetulan
karya sastra yang diteliti berupa mitologi, yang memang kekhususan teori Levi
Strauss. Mitologi dan dongeng. Aku melihat, teori ini dapat mengungkapkan
pesan-pesan tersembunyi, menguraikan simbol abstrak, untuk menguaknya menjadi
hal yang kasat mata dan sistematis. Kemungkinan karena teori ini banyak
mendasarkan diri pada ilmu antropologi dan linguistik.
Dongeng
misalnya, yang disampaikan dengan cara bertutur secara turun menurun, dan
dengan bahasa sederhana, malah mempunyai kekuatan yang besar. Kesederhanaannya
itulah yang menjadi kekuatannya. Kesederhanaannya itu membungkus pesan besar
yang tersembunyi. Dan hal itu menyusup ke dalam otak pendengarnya dengan sangat
halus. Itulah kekuatan kata-kata.
Maka
tak heran, para penjajah dahulu, sebelum memulai invasinya, mereka melibatkan
ahli sejarah, sastra, dan linguistik untuk mengadakan penelitian. Dari sejarah
dapat dilihat seperti apa hal yang berhasil dan gagal dari sebuah bangsa ini.
Lalu dari karya-karya sastranya, yang notabene adalah 'jepretan' keadaan dari
masa saat karya sastra itu dibuat, dapat dilihat bagaimana karakter bangsa itu
saat itu, diperkuat lagi dengan ilmu psikologi dan sosiologi yang menjelaskan
dan menguatkan hasil temuan-temuan itu. Lalu dari ilmu linguistik, dapat
dipelajari gaya bahasa yang bagaimana, yang punya 'kekuatan' untuk memengaruhi.
Apalagi diperkuat dengan ilmu komunikasi. Bisa dibayangkan kan hasilnya seperti
apa?
Jadi,
tidak ada penelitain yang remeh, jika penelitian itu dilakukan dengan benar,
sungguh-sungguh, dan kita jeli memanfaatkan hasilnya.
jadi, sudah ketemu jawaban pertanyaan: "kuliah jurusan bahasa/ sastra, mau jadi apa?" ;D
BalasHapus