Jumat, 28 Oktober 2011

Sistem yang rusak, mengapa anggota yang harus menanggung kerugiannya?



Baru saja kejadian. Ya! Baru saja kejadian. Aku tak habis pikir dan sempat sedikit BeTe.

Senin lalu, aku dan seorang teman bermaksud mengembalikan lima buku yang kami pinjam dari perpustakaan pusat di kampusku yang sekarang. Sesampainya di perpus, ternyata sistem sirkulasi yang sudah memanfaatkan komputerisasi itu rusak. Jadi pelayanan hanya bisa dilakukan secara manual. Itu pun hanya dibatasi untuk pengembalian saja. Peminjaman dan perpanjangan tidak dilayani. Sungguh menyulitkan buat kami, mengingat ada tiga buku yang akan kami perpanjang karena masih membutuhkannya. Lalu, bagaimana? Akhirnya hanya dua buku yang kami kembalikan. Sedangkan tiga lagi disuruh dibawa karena masih diperlukan.

Siang tadi, aku coba ke perpus lagi. Niat hati memperpanjang, tercatat dengan benar di sistem. Tapi ternyata, kerusakan pada sistem masih berlangsung dan belum diperbaiki, hingga ada pengumuman keesokan harinya perpustakaan akan ditutup sementara untuk memperbaikinya. Lalu, aku menanyakan status bukuku. Apakah bisa dicatatkan dengan benar bahwa buku itu diperpanjang, mengingat aku masih perlu.

"Pak, apa sudah bisa memperpanjang?"
"Oh, belum. Masih melayani pengembalian saja."
"Terus gimana?"
"Kembalikan saja."
"Tapi saya masih perlu."
"Ya sudah bawa saja dulu."
"Statusnya?"
"Ya berarti pengembaliannya telat"
"Maksudnya?"
"Ya nanti kena denda"
"Loh, yang rusak kan sistemnya, kok saya yang kena sanksi?"
"…………………….."
"Saya mau pinjam lagi, memperpanjang, tapi saya nggak mau kena denda. Gimana caranya?"
"Belum bisa. Bawa saja dulu."

Entah kenapa aku kesal sekali. Seakan tak memahami dan bersimpati dengan posisi anggota yang sedang perlu referensi. Akhirnya aku pergi dengan wajah tak ramah sambil membawa ketiga buku itu kembali pulang. Sengaja, agar mereka tahu aku kecewa. Segera cabut daripada aku terus berdebat dengan petugas dan mereka tetap diam tak bisa menjawab saat ku tanya "Yang rusak kan sistemnya, kenapa anggota tetap dikenakan denda.". Menurutku itu keputusan yang tak bijaksana sekali. Anggota tak bersalah tapi anggota yang harus menanggung kerugiannya. Apa bedanya mencatatkan secara manual pengembalian dengan peminjaman atau perpanjangan. Tentu bedanya para petugasnya harus bekerja ekstra untuk menyalinnya. Tapi buatku itu sudah konsekuensi yang harus ditanggung jika tetap ingin memberi pelayanan yang optimal kepada para anggotanya.

Saat keluar, sekilas mataku mencari kotak saran, di manakah dia? Ingin sekali aku menyampaikan uneg-unegku. Sebelum pulang, ku sempatkan menghitung denda yang harus ku bayar jika baru ku kembalikan Senin depan. Berarti telat seminggu. Satu buku per hari dikenakan denda 500 perak, dikali tiga buku, dikali 7 hari. Hmm… lumayan. Pengeluaran yang seharusnya tak perlu ku lakukan. Apalagi di akhir bulan begini. Mending ku belikan makanan! Halah.

Sungguh mempengaruhi moodku siang itu. Sepanjang perjalanan pulang, susah sekali wajah ini untuk tersenyum. Tapi aku tak mau terus memeliharanya. Berbagai cara ku lakukan untuk segera menetralkan suasana hati, mengingat aku harus membaca lagi. Tak baik membaca dengan suasana hati yang buruk. Pasti tak kan bisa mencerna dengan baik nantinya.

Sudahlah, ikhlaskan saja. Anggap saja mereka sedang perlu sumbangan untuk memperbaiki sistemnya. Kesempatan sedekah buatku. Fiuh….. ^^

*281011

aoi

2 komentar:

  1. ahahahaha...

    sudah sudah, buat perpus pribadi saja...
    *saran yang kurang ekonomis walaupun sedikit logis*

    BalasHapus
  2. yah, waktu itu aku dapat kortingan akhirnya. Harusnya bayar 25rb, tapi sama ibunya dikorting, "udah, 20rb aja". Lumayanlah.

    BalasHapus