Aku
Sudah Terlalu Kenyang Dengan Long Distance
Aku
sudah terlalu kenyang dengan yang namanya Long Distance Relationship alias LDR. Nggak keluarga inti, keluarga besar,
sahabat, kekasih, teman, semuanya. Sungguh, sudah terlalu kenyang.
Keluarga
besar sudah, keluarga inti sudah, sekarang satnya sahabat, kekasih, dan teman.
^^
Di
bahasan kali ini aku hanya akan menampilakan beberapa contoh masalah dan salah
paham yang terjadi karena LDR ini. LDR dalam tipe ini terjadi saat kita dan
mereka tak bisa lagi selalu bersama di sisi karena harus melanjutkan hidupnya
masing-masing. Alasannya bisa karena pindah sekolah, lulus, diterima kerja, dan
lainnya.
Saat
awal-awal punya HP, dan tarif telepon masih sangat mencekik untuk ukuran
mahasiswa, telepon tiga detikan pun dilakukan. Apa ada yang juga pernah
melakukannya? ;D Terus terang aku kurang nyaman dengan telepon seperti ini,
mending aku ke wartel pagi-pagi dan bertelepon normal seperti biasa. Karena itu
aku jarang melakukannya. Heu5.
Selain
telepon dan sms, media online pun juga kami manfaatkan. Sebelum menjamurnya
situs jejaring sosial, kami biasa bertukar kabar via email atuapun instant messenger.
Terhadap teman yang sama-sama suka menulis, bisa dipastikan, setiap kirim
email, pasti berlembar-lembar karena merupakan rangkuman cerita beberapa bulan
sebelumnya. Kalau dengan teman yang lebih suka bahasa verbal, bermainnya via
telepon.
Sekarang,
tarif untuk berkomunikasi semakin terjangkau, baik itu telepon, sms, dan
internet. Jadi memudahkan kita dalam berkomunikasi.
Lalu
apa problem-problemnya?
Pernah
suatu kali, aku akan mengunjungi seseorang di suatu kota. Laporan dari sms yang
ku kirim tertulis "delivered",
bukan pending lagi. Tapi ternyata di sana tidak menerima sms itu. Entah
bagaimana dan mengapa, kami tak tahu. Usut punya usut, ternyata temanku juga
mengalamai hal yang tak jauh berbeda. Kebetulan memakai provider yang sama
dengan nomor kota yang sama. Memang provider tersebut untuk nomor kota ini
sering bermasalah. Hingga ia sendiri sering mengalami masalah dengan bisnis dan
istrinya. Sekarang dia dan istrinya sedang mempertimbangkan untuk beralih ke
provider lain saja, daripada merusak keharmonisan keluarga dan hubungan bisnis.
Contohnya seperti ini.
[ InsyaAllah
aku lusa ke sana, gmn?] laporan delivered.
Hingga
keesokan harinya belum ada jawaban. Lalu malamnya ku sms lagi dengan perasaan
sedikit kesal.
[gmn?] delivered.
Sesaat
kemudian.
[gmn
apanya? Kapan kamu ke sini? Ato aku aja yg ke sana?]
Duenggggg……!!!!
[kemarin
kan aku sms, blg kalo bsk mau ke sanananya….]
[ga
ku terima tuh]
[aarrgghhhh….]
[berarti
lg kumat lg nih operatornya. Aku ga terima]
[tapi
laporannya delivered]
[iya
tp ga ku terima. Emang suka kayak gitu nomor provider ini di sini. Jd gmn? Aku
aja yg ke sana]
[kok
jd kamu yg ke sini?]
[iya,
gpp. Lagian belum pernah kan. Lusa ya aku ke sana. Nanti sebelum brkt ku kbri
lg]
Fiuh….
Yang
lain. Malam itu sedang sms biasa. Obrolan berlangsung lancar. Mendekati pukul
20.00 WIB, sms yang ku kirim pending.
Sedangkan semua sms-sms yang datang dari kawanku ini ku terima dengan selamat.
Intinya sejak detik itu, semua sms yang ku kirim padanya pending, tetapi aku
bisa menerima semua sms-sms darinya. Dan ini berlangsung selama tiga hari
berturut-turut. Berhubung sang kawan jadi mbingungisasi,
dan berpikir aku marah padanya, aku pun jadi tak enak karena membuat orang lain
berprasangka dan khawatir. Coba ku kirim dari nomor lain, tetap, pending juga.
Hingga aku akhirnya mengirim email padanya, menjelaskan. Kenapa tak telepon?
Saat itu pulsa regulerku memang sedang habis, dan aku baru bisa membelinya minggu depan. Tepat
hari ke tiga di pagi hari, semua sms-sms ku langsung delivered. Dan akhirnya dia mengabari, wah-wah, pagi-pagi
langsung dapat 20an sms! Tak lama kemudian dia pun menghubungi call center providernya untuk melaporkan bahwa
nomornya sempat bermasalah.
Atau
saat sedang ngobrol via sms, tiba-tiba baterei ngedrop, mati. Dan itu sedang di
bandara! Akhirnya baru bisa terkabari lagi setelah sampai di rumah. Untung saat
itu aku coba berpikir positif saja. Benar kan!
Pengalaman
lainnya, sangat tidak enak kalau orang yang kita hubungi itu berbeda waktu
dengan tempat kita tinggal. Walau tidak terlalu jauh saat itu perbedaannya,
hanya beda 2 jam lebih cepat di sana. Kita di sini masih jam 8 malam, tapi di
sana sudah jam 10 malam, waktunya orang sedang istirahat. Atau karena cukup
jauh, saat telepon pun jadi kurang nyaman. Mengapa? Setiap kita bicara, selalu
ada jeda sekitar 2 detik. Suara kita seluruhnya baru akan keterima setelah 2
detik kemudian. Memang sih, tidak terlalu lama, tapi cukup membuat tak leluasa.
Bayangkan saja kita baru bisa menanggapi setiap 2-3 detik kemudian. Tak enak
rasanya. Ibaratnya kalau pas ada hal lucu, kita tidak boleh langsung tertawa
spontan, tapi diam dulu selama dua detik! Garing kan???
Atau
saat harus berkomunikasi dengan orang lain yang sedang ditugaskan ke daerah
terpencil yang sinyal HP cuma ada di tempat-tempat tertentu dan terkadang dalam
sehari sinyal itu hanya ada beberapa jam saja. Tak jarang sms yang dikirim sore
ini baru sampai keesokan paginya. Atau sms pagi hari baru sampai siang hari.
Hal ini sungguh mempengaruhi mood. Menguras energi.
Jadi,
saat telepon, sms, IM ataupun email kita tak segera mendapat respon,
bersabarlah sedikit. Siapa tahu di seberang sana sedang menerima tamu, rapat,
sedang menyetir, sedang ada acara, dan hal lainnya yang membuatnya menunda
untuk segera membalas.
Karena
ini pula mungkin, aku jadi membiasakan diriku untuk selalu berpikir positif dan
menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada orang lain. Yang terkadang kadarnya
berlebih. Ya, jika pesan-pesan itu disampaikan melalui simbol-simbol, apalagi
cukup abstrak, agak susah aku menangkapnya. Tak jarang pula, simbol-simbol itu,
yang terlihat negatif, masih saja coba ku tafsirkan secara positif. Dan sudah
dipastikan hal ini menjadi sumber kesalahpahaman lagi.
Saat
sedang jatuh, dan ingin sekali rasanya sekedar bersandar dan mendapat pelukan
hangat dari sahabat tercinta, itu tak bisa serta-merta terwujud. Ya! Bagaimana
tidak? Mereka ada di kota dan pulau lain! Lalu, apa yang ku lakukan? Mencoba
tegar, dan survive sendiri. Paling nangis, hehehe…. karena ingin memeluk mereka
tapi tak bisa. Halah. Alhamdulillah saat-saat seperti itu aku masih ingat
Rabbku. Ya! Kepada siapa lagi aku mengadu dan memohon kekuatan?
Pernah
juga suatu malam aku merasa sepi, tiba-tiba saja. Saat tersadar bahwa selama
ini aku bisa berdiri kokoh ternyata karena sahabat-sahabat terbaikku juga yang
selalu di sisi. Tapi sekarang? Saat kami
berpisah untuk melanjutkan hidup masing-masing dan belum menemukan sosok
seperti mereka di tempat baru, rasanya kehilangan sekali. Pernah di suatu
telepon yang lama, ternyata sahabatku juga merasakan hal yang sama, dan dia
akhirnya menghibur, tenang, toh kita tetap bisa bisa telepon-teleponan kan?
Yah, untungnya kami manggunakan nomor provider yang sama, jadi bisa telepon
gratis berjam-jam. Hehehe….
Suatu
kali aku pernah sedikit protes pada seorang kawan, tapi mau bagaimana lagi,
sikon yang mengharuskan seperti itu. Gara-garanya saat aku datang, dia malah
harus pergi. Tapi dia mamberikan sms ini:
[Physical appearance it doesn’t matter. But
more important is the spirit always be there for you.]
Cukup
menghibur dan menyadarkanku.
Karena
LDR ini juga mungkin. Aku semakin menjadi orang yang tak gampang meledak-ledak.
Aku tak mau mau marah hanya karena prasangka yang belum tentu benar
kenyataannya. Tapi sisi jeleknya, bisa-bisa aku jadi seseorang yang kurang
ekspresif. :-(
Sekitar
dua tahun terakhir ini, aku mulai membiasakan diri untuk secara langsung
mengungkapkan kekesalan dan kemarahanku pada orang lain. Tidak dipendam dulu
dan menunggu mereda baru disampaikan kepada orang itu seperti biasanya, ketika
semuanya telah berlalu. Tidak! Aku lebih memilih untuk menyampaikannya
langsung, saat aku masih sedang kesal atau marah. Tapi tentu caranya yang
bijak. Tidak terus marah-marah, teriak membabi buta, tentu tidak seperti itu.
Bisanya aku hanya menyampaikan pesan singkat kalau aku sedang sebal dengan
sikapnya berikut alasan ataupun memberitahu tindakannya yang membuatku kesal.
Tujuannya apa? Aku hanya ingin segera menyalurkannya, tidak memendamnya, dan
ingin orang yang dimaksud tahu. Itu saja. Walau jarak jauh, dan ekspresi wajah
tak bisa terlihat langsung, tapi isi hati tetap perlu tersampaikan dengan
benar. Begitulah. Dalam beberapa kali percobaan, cara ini cukup efektif. Orang
tersebut jadi tahu, kenapa kita sebal padanya, dan mengingatnya, sedangkan kita
tidak memendamnya menjadi penyakit, hati jadi lebih plong. Setelah itu biasanya
jadi lebih saling memahami.
Masih
ada lagi? Banyak, sungguh ramai rasanya. Hehehe… dari semua pengalamanku, aku
belajar banyak hal, yang ujung-ujungnya bermuara lagi pada satu hal yang
disebut "komunikasi".
Ya, memang ini kuncinya. Tidak cukup hanya tahu, tapi juga seni cara
melakukannya. Memang LDR itu berat dan tidak mudah, tapi bukan berarti tidak
mungkin kan? Saat kita sepakat menjalani apa yang disebut LDR, berarti kita
telah siap dan tahu konsekuensi akan LDR itu sendiri. Jadi, saat di tengah
jalan terasa berat dan terasa akan menyerah, kuatkan diri, ingat tujuan awal
dahulu. Buang jauh-jauh ego diri, misalnya nih, sama-sama ingin dikontak
duluan, yang
akhirnya jadi saling menunggu dan ujung-ujungnya tak terjadi kontak sama
sekali! Waduh, kalau satu dua kali sih nggak apa-apa, tapi kalau hampir setiap
kali dan dibiarkan, masalah lain jadi muncul. Hubungan lama-lama menjadi
semakin renggang misalnya. Selain itu, selera humor, ya, selera humor juga
harus dipertahankan dan dipupuk. Hal ini untuk membuat komunikasi menjadi lebih
manis. Kepercayaan, kejujuran, dan keterbukaan sudah menjadi menu wajib.
Curiga-curigaan? Hanya akan menguras energi.
Yang
lucu sekaligus menyebalkan lainnya adalah ketika misalnya kita sedang sms-an,
maksud kita mengajak bercanda, tapi ternyata dianggap serius sama partner kita
itu. Atau saat kita kesal, dia menganggapnya biasa saja. Saat kita serius, dia
malah mengajak kita bercanda. Hmm…. Bisa salah paham lagi ini nantinya. Karena
bahasa tulis bisa multi tafsir kalu tak melihat konteks. Bahasa verbal pun
kalau hanya mengandalkan nada suara tanpa melihat langsung ekspresi rekan
bicara, terkadang bisa salah tafsir juga. Benar-benar perlu ilmu, hati terbuka,
dan seni dalam memahaminya. ^_^
Masalah
lain mungkin muncul ketika kita berbeda tipe. Misal aku yang terbiasa hidup di
keluarga LDR, dan lebih menganut quality time
akan sedikit menimbulkan masalah ketika harus berinteraksi dengan orang lain
yang tak terbiasa dengan LDR dan terbiasa dengan quantity
time. Ada sedikit ketidaksingkronan walaupun awalnya sudah sepakat LDR
dan sudah tahu semua konsekuensinya, tetapi dalam perjalanannya ada
ketidaknyamanan yang terjadi. Misalnya quantity
time yang diharapkan oleh orang lain terhadapku tak bisa terwujud, hal
ini secara perlahan cukup menyiksanya walaupun coba untuk bertahan.
Dari itu semua, aku menyimpulkan, kuantitas dan kualitas idealnya memang harus beriringan. Bukankah Pencipta kita lebih menyukai sedikit tapi sering dan berkelanjutan secara konsisten daripada sekali banyak tapi jarang? Nah, kuantitas yang dimaksud di sini yang ku tangkap adalah kerutinannya itu, bukan hanya sekedar banyaknya jumlah. Rutin, itu dia! Jadi idealnya menurutku, frekuensi komunikasinya sedikit-sedikit (hal-hal yang ringan) saja, tapi rutin dan berkala. Dan ingat, isi hal yang ringan itu juga harus sesuatu yang berkualitas. Mengerti apa yang ku maksudkan? Misalnya sapaan-sapaan penyemangat di pagi hari atau menanyakan kabar di akhir pekan. Hanya itu. Tapi tentu akan menguatkan. Itu menurutku…. Berdasarkan pengalaman dan pandangan secara subjektif saja.
Dari itu semua, aku menyimpulkan, kuantitas dan kualitas idealnya memang harus beriringan. Bukankah Pencipta kita lebih menyukai sedikit tapi sering dan berkelanjutan secara konsisten daripada sekali banyak tapi jarang? Nah, kuantitas yang dimaksud di sini yang ku tangkap adalah kerutinannya itu, bukan hanya sekedar banyaknya jumlah. Rutin, itu dia! Jadi idealnya menurutku, frekuensi komunikasinya sedikit-sedikit (hal-hal yang ringan) saja, tapi rutin dan berkala. Dan ingat, isi hal yang ringan itu juga harus sesuatu yang berkualitas. Mengerti apa yang ku maksudkan? Misalnya sapaan-sapaan penyemangat di pagi hari atau menanyakan kabar di akhir pekan. Hanya itu. Tapi tentu akan menguatkan. Itu menurutku…. Berdasarkan pengalaman dan pandangan secara subjektif saja.
Jadi,
apakah siap menjalani LDR? Kuatkan hati ketika kita telah sepakat memilihnya!
(^_~)//
aoi
ehm,..(jeda 2 detik)...jadi...(jeda 2 detik)...all we need..(jeda 2 detik)..is...(jeda 2 detik)...an...(jeda 2 detik)...effective..(jeda 2 detik)..communication...(pulsa habis)
BalasHapus;p
catat: EFFECTIVE COMMUNICATION, hehehehe
Hahaha... makanya itu cukup sekali aja telp model gitu, ga tertarik buat telp yang kedua dan seterusnya. Ga enak banget!!!
BalasHapusYeah, EFFECTIVE COMMUNICATION, dan aku sudah coba memperbaikinya, walaupun mungkin tak bisa kembali ke masa sebelum akhirnya tersadar. :(
But, It's Ok. karena sungguh, aku belajar banyak hal ^_^