Rabu, 26 Oktober 2011

Seri LDR 2: Keluarga Inti

Aku Sudah Terlalu Kenyang Dengan Long Distance

Aku sudah terlalu kenyang dengan yang namanya Long Distance Relationship alias LDR. Nggak keluarga inti, keluarga besar, sahabat, kekasih, teman, semuanya. Sungguh, sudah terlalu kenyang.


Setelah keluarga besar, sekarang keluarga inti.

Keluargaku merantau jauh ke pulau seberang saat aku masih TK kelas nol besar. Ingat sekali saat diberitahu, kita akan pindah, nanti naik pesawat ke sana. Rasanya…. senang? Tidak juga. Pertama, aku baru mendengar nama kota yang disebutkan ibuku saat itu, bahkan aku sempat berpikir, emang ada nama kota seperti itu? Di mana? Kok nggak pernah dengar…. Maklumlah, saat itu aku hanya mengenal kota-kota di pulau Jawa saja. Emm.… naik pesawat? Bisa nggak kalau naik yang lain saja? Sejujurnya aku takut bin khawatir karena saat itu aku sudah mulai bisa membaca, setidaknya tulisan-tulisan besar sebagai judul berita di koran harian. Dan aku cukup sering melihat gambar pesawat jatuh. Maklum saat itu sedang "musimnya" perang teluk. Dan pesawat yang ku lihat tak lain tak bukan adalah pesawat tempur. Hahaha…. Dasar anak-anak yang masih polos.

Karena kepindahan keluargaku ini dan kepindahan-kepindahan berikutnya, aku menjadi anak yang multilingual. Bahasa Jawa, bahasa Melayu, bahasa Indonesia, dan bahasa asing. Tapi ya itu, hampir semuanya tak ajeg. Hanya satu yang lumayan ajeg menurutku, yaitu bahasa Indonesia. ^^

Karena kepindahan keluargaku ini jualah, kami belajar menjadi perantau, bergaul dengan banyak orang dari beragam latar belakang, belajar saling memahami, menghormati, dan beradaptasi. Hingga kami merasa menjadi orang yang lebih terbuka.

Keluarga intiku mulai "berpisah" ketika masku saatnya masuk bangku kuliah. Saat itu aku masih kelas 3 SMP. Masku kembali ke kota kelahirannya untuk menuntut ilmu di sana. Sedangkan kami tetap di rantau. Saat itu adikku sendiri masih empat tahun. Untung masih ada satu sepupu dan satu tante yang ikut tinggal di rumah, jadi masih lumayan ramai. Apalagi adikku masih balita, sudah pasti ramai dan cukup buat rumah berantakan. Hehehe…

Waktu itu komunikasi kami hanya lewat telepon. Pernah suatu kali kami iseng, lebih tepatnya ingat dengan masku ini, sedih dan kasihan tak bisa merasakan kebersamaan kami di rumah. Biasanya itu terjadi ketika kami di rumah sedang makan 'enak' kesukaannya, atau saat makan bersama karena ada yang berulang tahun saat itu. Saat telepon, kami biasanya bilang, "Di sini ada durian lho…", atau "Ibuk lagi masak tumpeng lho, gurami bakarnya enak!". Ledek-ledekan tanda kami mengingatnya!

Setahun berikutnya, aku menyusul langkah masku, meninggalkan rumah. Adikku masih duduk di TK nol besar. Hiks, masih kecil. Tapi kalau lagi di rumah, aku juga sering berantem dengan adikku saat itu. Baik yang gedhe dan yang kecil sama-sama nggak mau ngalah. Just masa lalu. Hehehe…

Ya, walau masih SMA, aku memutuskan untuk sekolah jauh dari orang tua. Entah bagaimana awalnya, tapi sama-sama bersambut. Aku mau, orang tuaku juga mendukungku. Aku ingin cari suasana yang berbeda saat itu. Jelas bukan sesederhana itu sebenarnya. Saat itu aku sudah cukup memikirkan tentang masa depan. Ehem. Mungkin karena pengaruh majalah remaja yang ku baca, GADIS. Sungguh penuh artikel pengetahuan yang menginspirasi.

TK, SD, dan SMP bisa dibilang lingkunganku tak jauh berbeda. Maklum kawasan sekolah. Jadi teman semasa TK hingga SMP tak banyak yang berubah. Dan kalau SMA pun, bisa dipastikan juga tak jauh berbeda. Hanya nama sekolahnya aja yang berbeda. Lingkungan dan teman-temannya 70% masih tak jauh beda. Kalau begitu terus, aku tak berkembang. Itu-itu saja lingkunganku. Banyak hal yang masih harus ku ketahui dan pelajari. Di lain sisi, karena bercita-cita kuliah di pulau Jawa, jadi biar beradaptasi dulu, konon katanya peluangnya akan lebih besar jika SMA dan perguruan tinggi yang dipilih masih dalam satu rayon. Padahal peluangnya sama saja ya. Hehehe…. Karena itulah orang tuaku juga mendukung.

Yang aku agak sedikit heran, orang tuaku hepi-hepi saja anaknya akan pergi, terutama ibu. Yang lazimnya seorang ibu itu lebih melow dari seorang ayah. Tapi ibuku tidak. Malah mengingatkan dan membesarkan hatiku, nanti tinggal sama orang lain itu harus begini dan begitu. Aku pasti akan baik-baik saja. Katanya. Tapi belakangan ku ketahui kalau saat itu sebenarnya ibuku dag dig dug der juga melepas anak perempuannya pergi, cuma senjata ibuku iklhas saja. Karena pada intinya anak-anak hanyalah titipan. Doa saja yang kuat sambil dipantau. Itu pengakuan yang tak sengaja ku dengar saat teman ibuku cerita tentang anak-anaknya yang kuliah di rantau. Berarti saat itu ibuku hanya tak ingin memperlihatkan padaku saja! Hmm…

Singkat kata, akhirnya diputuskan aku melanjutkan SMA di  kota kelahiran Ayahku. Karena di sana banyak adik-adik ayahku yang berprofesi guru, jadi banyak yang memantau dan bisa dititipi. Ehem. Aku tak diizinkan masuk SMA di kota kelahiranku, tinggal bersama masku. Tak ada yang memantau nanti, alasannya. Selain itu, sekalian menemani mbah putriku juga. Akhirnya aku manut. Toh di mana pun sama saja bagiku, karena tetaplah sesuatu yang baru buatku.

Sebagai awal adaptasi, ibu dan adikku hanya menemani selama seminggu. Bulan-bulan awal bisa dipastikan aku mengalami culture shock alias gegar budaya. Yah, walaupun masih tinggal di keluarga besar, tapi pasti ada kebiasaan-kebiasaan yang berbeda dengan yang biasa diterapkan di keluarga intiku. Selain itu seorang "anak kota" harus beradaptasi menjadi "anak ndeso". Dulu gaulnya ke mall, sekarang gaulnya ke pantai atau sengaja ke rumah teman di pelosok. Dulu terbiasa dengan hiruk pikuk kota terbesar ke tiga di Indonesia, sekarang harus akrab dengan kota kecil yang masih banyak sawah dan tak mengenal mall sama sekali! Yang terbiasa dengan lancarnya berbahasa Indonesia, harus memutar kembali memoriku akan bahasa Jawa kasar yang biasa ku pakai di rumah. Bahasa Jawa halus, aku menyerah, hanya bisa memahami, dan sedikit menirukan.

Untungnya aku tak di-bullying di sekolah karena beda. Dan memang tak ada itu di sana. Tapi aku tetap menjadi bahan guyonan dan ledekan mereka karena kekhasanku, tepatnya logat Jawaku yang aneh. Dan aku menikmatinya, aku menangkapnya sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang mereka padaku. Aku sempat tak habis pikir ketika berkenalan, beberapa temanku menatap heran saat ku bilang asal kota SMP ku. Bahkan ada yang berpikir, terus, ngapain jauh-jauh pindah sekolah ke sini? Hah??? Emangnya nggak boleh? Emangnya aneh? Mungkin mereka tak terbiasa dengan teman pindahan. Kalau dulu, selama SD-SMP, aku sudah terbiasa saat diperkenalkan ada teman baru pindahan dari kota lain, dan sekitar setahun dua tahun kemudian dia pindah lagi. Itu memang sering terjadi.

Selama SMA ini aku mulai cukup akrab dengan yang namanya wartel! Ya, karena di tempat inilah aku bisa berkomunikasi dengan keluargaku dengan cukup murah di jam-jam tertentu. Biasanya pagi hari sebelum jam 6 pagi. Mbak-mbak penjaga wartel pun sudah hafal denganku. Dan aku sering diberi sovenir jika tarif teleponku telah mencapai angka tertentu. Lumayan juga jika dikumpulkan, ada frame foto, gantungan baju, gantungan kunci, dll. Hehehe…


Ibuku sendiri cukup rutin telepon sebulan sekali tiap akhir bulan menanyakan kabarku. Walaupun komunikasi kami hanya via telepon, tetapi aku tak merasa jauh, tetap merasa dekat. Entah bagaimana ibuku mengelolanya. Tapi itulah yang ku rasa. Aku sama sekali tak merasa asing saat kembali ke rumah ketika mudik. Ibarat kata jauh di mata tapi dekat di hati.

Ada satu momen yang buatku terharu. Apa itu? Saat itu, adikku yang notabene baru masuk SD dan baru bisa menulis, mengirim surat padaku! Aku lupa cerita apa tapi intinya dia bilang kangen! Lumayan, 2 lembar dengan tulisan gedhe-gedhe khas anak baru belajar nulis. Huhuhu…. Dan surat itu sempat ku pamerkan pada teman dekatku. Ehem.



Di masa ini juga aku mulai melakukan petualanganku sendiri. Bepergian sendiri menyebrang pulau dan melintasi provinsi. Deg-degan tapi cukup seru dan menantang. Kelas dua SMA, keluargaku mulai pindah ke pulau kelahiran. Tapi masih beda provinsi denganku dan masku. Walau begitu, tak terlalu jauh, masih bisa dijangkau dengan kereta api selama 6 jam. Awal-awal deg-degan juga, berhubung belum pernah, dan harus naik kereta ekonomi yang perlu oper kereta, tidak bisa langsung. Takut kesasar lebih tepatnya. Tapi bismillah saja. Saat itu sobat-sobatku bilang, "Jangan sendirian, ditemenin siapa gitu…". Lhah, ditemenin siapa lho…. Yang perlu mudik kan aku…. Kalaupun masku mudik juga, berangkatnya dari kota yang berbeda, paling ketemunya nanti di rumah, pas sama-sama udah sampai. Lama-lama aku terbiasa, dan hafal. Jika ada libur 3, 5 atau 7 hari, aku sempatkan mudik.

Pernah suatu ketika, aku dengan segera membatalkan rencana liburanku bersama sahabat-sahabatku ke bromo detik itu juga ketika H-1 akan berangkat. Apa pasal? Ayahku datang! Aku tak kuasa untuk pergi. Jelas, ada satu orang yang sangat sedih dalam rombongan itu, tapi si dia dan sahabatku yang lain coba menerima dan mengerti akan keadaanku. Maafkan aku….

Kejadian lainnya aku sempat "merengek" datang menyusul ketika kedua orang tua dan adikku datang ke kota masku tinggal. Manja sekali aku malam itu. Persis anak kecil yang merengek minta dibelikan mainan baru. Saat itu malam Sabtu. Saat ditelepon, ku bilang aku pengen datang juga. Tak kuasa mendengar canda mereka berkumpul di hotel, sedangkan aku jauh di ujung telepon. Awalnya orang tuaku melarangku karena besok aku masih sekolah. Besok pulang sekolah saja, toh Minggu siang mereka masih di sana. Aku tetap keukeuh aku akan bolos sekolah saja, toh aku hampir tak pernah bolos ini. Jadi aku masih punya jatah membolos. Tak kuasa mendengar rengekanku, mereka mengizinkan. Sambil ku seka air mataku malam itu, aku berkemas untuk berangkat esok subuh. Senangnya!!!

Masuk kuliah, aku pindah kota lagi. Begitu pun keluargaku. Walau sekarang masih satu provinsi, tapi beda kabupaten. Perlu waktu sekitar 3-4 jam untuk sampai rumah. Hanya masku saja yang masih setia menetap di kota kelahirannya. Walaupun cukup dekat dari sebelumnya, tapi bisa dibilang aku jarang pulang, karena hampir tiap akhir pekan selalu ada acara di kampus. Hingga suatu ketika seseorang di provinsi lain memarahiku, tepatnya mengingatkanku, "Nggak sopan, masak orang tua yang berkunjung ke anaknya!". Agak ga enak mendengarnya, tapi benar juga katanya. Tapi orang tuaku mampir ke kosan itu juga, pas searah karena ada acara di kota sebelah. Jadi sekalian mampir, bukan menyengajakan diri khusus untuk mengunjungiku. Jadi aku tak merasa bersalah juga. Kan mampir.

Belajar dari pengalaman itulah, saat ini aku usahakan lebih sering pulang daripada dulu. Yah, setahun 4-6 kali lah. Diusahakan 2-3 bulan sekali. Walau sekarang jaraknya lebih jauh dari dulu. Selain itu aku memanfaatkan media sms dan telepon. Ya, sejak kuliah aku mulai punya HP. Tapi awal-awal kuliah tarif telepon dan sms masih sangat mahal, jadi saat itu terkadang aku juga masih memanfaatkan jasa wartel. Ingat betul dulu, sekali isi pulsa selalu 100rb untuk jangka waktu 1,5 bulan. Sekarang, biaya itu bisa untuk 3-4 bulan. Hahaha….

Aku juga mulai belajar untuk menyengajakan diri telepon atau sms tanpa sebab. Hanya sekedar menyapa ataupun menanyakan kabar. Kadang aku iseng saat orang tuaku telepon atau sms, terutama ibu, kadang ku godain, kenapa buk? Kangen ya? hehehe… paling ibuku komentar, "ditelepon, malah godain…." ^.^

Karena itulah, saat menggarap revisi skripsi setelah sidang, dosen pembimbingku bertanya,
"Rencananya mau apa nih abis lulus?"
"Pulang, Bu."
"???.... Iya itu pasti, abis itu?"
"Belum tahu, yang pasti saya pengen di rumah dulu, Bu"

Begitulah jawabanku. Dan dosenku cuma menatap heran ke arahku. Mungkin buat orang lain lebih ingin mengadu nasib entah ke mana, tapi bagiku, aku ingin pulang.

Ada kejadian 'bego', menurutku. Sekitar dua bulan setelah aku lulus, tiba-tiba aku ditelepon oleh suatu perusahaan di daerah Jabodetabek sana untuk wawancara. Katanya tahu profilku dari buku wisuda universitasku. Mereka menanyakan kesediaanku untuk mengikuti tes penerimaan karyawan baru.

"Emm… nggak deh mbak, untuk saat ini, kalau tidak jauh dari rumah saya mau, tapi kalau nggak, saya tidak bersedia."

Terkesan belagu ya, masih juga fresh gardute udah milih-milih. Tapi itulah keputusanku. Dan aku tidak merasa menyesal sedikit pun ketika menolaknya. Saat cerita ke temanku, dia hanya ketawa, iya aneh, orang mah biasanya ditawari pekerjaan diambil, ini malah ditolak. Hahaha… Biarkan saja, mereka kan nggak tahu latar belakangku menolaknya. Hehehe…

Saat kuliah S1 tingkat 3, keluargaku pindah lagi. Kali ini, beda provinsi dengan tempat ku kuliah. Perlu waktu sekitar 7 jam menggunakan bis atau kereta api ekonomi menuju ke sana. Dan kali ini pula, adikku yang saat itu sudah kelas 5 SD, diputuskan untuk tak ikut. Dikirim ke kota kelahiranku bersama dengan masku. Alasannya biar adikku tak lagi menjadi korban mutasi. Yah, di keluargaku, adikku inilah yang terparah menjadi korban mutasi. Bayangkan saja dia pindah SD sebanyak 4 kali! ---*Maka jangan heran kalau pelajaran bahasa daerahnya selalu jelek, karena tiap kali pindah sekolah, dia harus belajar bahasa daerah baru.*--- Mengingat sebentar lagi akan masuk SMP, maka biar adaptasi dulu, toh sebentar lagi ayahku pensiun dan kami akan menetap di sana. Jadilah pengorbanan ibu dan perannya sangat berarti. Bayangkan 3 dapur! Dua tahun menjelang ayahku pensiun, ibuku wira-wiri sebulan dua kali untuk membagi tugasnya sebagai ibu dan sebagai istri. Capek, tapi harus dijalani. Untungnya di kota kelahiranku itu ada budhe dan keluarganya yang menemani adik dan masku itu. Paling tidak, masalah makan sudah ada yang mengurus.

Di momen-momen inilah, saat-saat kebersamaan sebagai keluarga sangat berarti. Kami memang tak lagi menganut quantity time, tapi lebih menganut quality time. Karena itulah yang paling mungkin kami lakukan. Saat berkumpul, kadang ibuku heran kok makanan kita cepat habis, lupa, kan anaknya lagi ngumpul semua…. Hehehe.



Aku pernah merasa sepi sekali saat lebaran. Tak ingat pasti waktunya kapan, tapi yang pasti saat-saat terakhir kuliah S1 ku. Saat itu kami sekeluarga tak bisa berlebaran bersama seperti sebelumnya. Saat itu ayahku baru pindah di tempat baru, yang bisa pulang cuma aku dan adikku. Masku tak bisa tepat saat hari H. Sedangkan ayahku sedang kebagian jaga selama seminggu lebaran, jadi kami pun tak bisa mudik ke kampung halaman. Kalaupun mau mudik, hanya aku, ibu, dan adikku saja, sedangkan ayahku menyusul kemudian saat para om-tante dan sepupuku sudah waktunya kembali ke rumah masing-masing. Duh, malasnya… kan jadi nggak bisa ketemu saudara…. Merana sekali rasanya aku tahun itu. Yang ada, kami pun ikut ayahku keliling dari satu tempat ke tempat lain untuk melakukan pengecekan saat jaga selama lebaran itu. Daripada kami di rumah sendiri, sedangkan para tetangga juga mudik, mending ikut muter-muter. Itung-itung jadi ikut merasakan perasaan keluarga para pak polisi dan tentara yang sedang tugas di saat orang lain sedang liburan.

Kejadian lainnya, karena keluargaku di saat menjelang pensiunnya ayahku sering berpindah-pindah, aku sempat mengalami linglung ketika pulang ke rumah. Dalam arti aku hampir tak pernah hafal tempat-tempat penyimpanan barang-barang di rumahku. Terutama kalau sudah masuk dapur. Tak jarang aku bertanya pada adikku, gunting di mana ya? Spidol di mana? Hmm….
Kadang lucu juga, judulnya aku pulang ke rumah, tapi aku tak mengenal rumahku sendiri. Parah!

Alhamdulillah, aku merasakan sekitar 1,5 tahun setelah kelulusan S1 ku untuk berada di rumah sendiri, dengan anggota keluarga yang lengkap. Aku sungguh menikmatinya. Kembali berkumpul saat dulu masku belum kuliah. Aku serasa memiliki keluarga yang utuh dan normal. Walaupun siangnya kami meninggalkan rumah, tapi sore atau malamnya kami berkumpul kembali.

Walaupun orang tuaku selama ini menjalani kehidupan keluarga yang long distance, tapi bukan berarti mereka, terutama ibuku mendukung jika ada keluarga lain yang menjalani long distance juga. Aku sendiri heran, tapi ini kejadian. Salah satu sepupuku, saat baru menikah juga harus menjalani LDR, lebih tepatnya LDL (Long Distance Love) karena baru saja menikah. Apa pasal? Dia baru saja diterima bekerja dan ditempatkan di Indonesia bagian tengah, sedangkan istrinya mendapatkan beasiswa S2 di Australia yang pengurusannya sudah dilakukan sejak sebelum menikah. Sesuai kesepakatan, akhirnya mereka harus LDL, kangen, tapi bagaimana lagi. Ingin menyusul istri, tapi keadaan keuangan belum mencukupi. Sang istri pun menyelesaikan kuliahnya dalam waktu 1,5 tahun. Tapi belum boleh kembali karena sisa beasiswa tak boleh diuangkan. Akhirnya menetap lagi selama 6 bulan untuk bekerja part time sekalian menambah tabungan hingga genap 2 tahun jatah beasiswanya habis. Sekarang sih, anaknya sudah dua ^^

Melihat kejadian ini ibuku sempat komentar,
"Duh, masih muda sudah jarak jauh."
"Ya nggak papa lha, Buk, perjuangan." jawabku nyantai.
"Nggak, masih muda sebisa mungkin jangan jarak jauh, banyak godaan.", sahut ibuku singkat.

Mungkin ibuku mewanti-wanti seperti itu karena telah mengalami sendiri beratnya keluarga LDL itu. Walau dari luar tampak oke-oke saja, tapi proses menjaga keharmonisan itu tampaknya penuh tantangan yang harus dilewati. Ya, aku setuju itu, tapi kalau sudah sama-sama sepakat, ya sudah.
Sekarang pun, keluarga intiku masih hidup terpisah-pisah. Tiga orang anggotanya merantau. Hehehe….

Aku pikir setelah Ayahku pensiun dari tempat bekerjanya selama ini, kami tak akan menjalani long distance lagi. Cukup anak-anaknya saja yang berkelana, ternyata belum bisa. Suatu ketika aku menerima telepon dari seorang ibu teman orang tuaku. Saat itu orang tuaku sedang pergi, lalu bertanya tentang kabar mereka.

"Apa? Bapak kerja lagi di luar kota? Bukannya udah pensiun?"
"Iya sih, tapi sepertinya belum kepengen diam. Hehehe…."
"Yah, kalau dua-duanya sama-sama ikhlas, ya ga papa ya mbak"


Hehehe…. Teman orang tuaku ini mungkin tak habis pikir, sudah waktunya 'istirahat' kenapa masih berjauhan juga… tapi itulah pilihan orang tuaku saat ini.

Entah sampai kapan keluarga kami akan menjalani long distance. Emm…. Aku tahu jawabannya sebenarnya. Menunggu momen itu! Semoga tak berapa lama lagi. Aamiin.

*251011

aoi

0 komentar:

Posting Komentar