Aku
sudah terlalu kenyang dengan yang namanya Long Distance Relationship alias LDR. Nggak keluarga inti, keluarga besar,
sahabat, kekasih, teman, semuanya. Sungguh, sudah terlalu kenyang.
Setelah keluarga besar, sekarang keluarga inti.
Keluargaku
merantau jauh ke pulau seberang saat aku masih TK kelas nol besar. Ingat sekali
saat diberitahu, kita akan pindah, nanti naik pesawat ke sana. Rasanya….
senang? Tidak juga. Pertama, aku baru mendengar nama kota yang disebutkan ibuku
saat itu, bahkan aku sempat berpikir, emang ada nama kota seperti itu? Di mana?
Kok nggak pernah dengar…. Maklumlah, saat itu aku hanya mengenal kota-kota di
pulau Jawa saja. Emm.… naik pesawat? Bisa nggak kalau naik yang lain saja?
Sejujurnya aku takut bin khawatir karena saat itu aku sudah mulai bisa membaca,
setidaknya tulisan-tulisan besar sebagai judul berita di koran harian. Dan aku
cukup sering melihat gambar pesawat jatuh. Maklum saat itu sedang
"musimnya" perang teluk. Dan pesawat yang ku lihat tak lain tak bukan
adalah pesawat tempur. Hahaha…. Dasar anak-anak yang masih polos.
Karena
kepindahan keluargaku ini dan kepindahan-kepindahan berikutnya, aku menjadi
anak yang multilingual. Bahasa Jawa, bahasa Melayu, bahasa Indonesia, dan
bahasa asing. Tapi ya itu, hampir semuanya tak ajeg. Hanya satu yang lumayan
ajeg menurutku, yaitu bahasa Indonesia. ^^
Karena
kepindahan keluargaku ini jualah, kami belajar menjadi perantau, bergaul dengan
banyak orang dari beragam latar belakang, belajar saling memahami, menghormati,
dan beradaptasi. Hingga kami merasa menjadi orang yang lebih terbuka.
Family by digitalart
|
Keluarga
intiku mulai "berpisah" ketika masku saatnya masuk bangku kuliah.
Saat itu aku masih kelas 3 SMP. Masku kembali ke kota kelahirannya untuk
menuntut ilmu di sana. Sedangkan kami tetap di rantau. Saat itu adikku sendiri
masih empat tahun. Untung masih ada satu sepupu dan satu tante yang ikut
tinggal di rumah, jadi masih lumayan ramai. Apalagi adikku masih balita, sudah
pasti ramai dan cukup buat rumah berantakan. Hehehe…
Waktu
itu komunikasi kami hanya lewat telepon. Pernah suatu kali kami iseng, lebih
tepatnya ingat dengan masku ini, sedih dan kasihan tak bisa merasakan
kebersamaan kami di rumah. Biasanya itu terjadi ketika kami di rumah sedang
makan 'enak' kesukaannya, atau saat makan bersama karena ada yang berulang
tahun saat itu. Saat telepon, kami biasanya bilang, "Di sini ada durian
lho…", atau "Ibuk lagi masak tumpeng lho, gurami bakarnya
enak!". Ledek-ledekan tanda kami mengingatnya!
Setahun
berikutnya, aku menyusul langkah masku, meninggalkan rumah. Adikku masih duduk
di TK nol besar. Hiks, masih kecil. Tapi kalau lagi di rumah, aku juga sering
berantem dengan adikku saat itu. Baik yang gedhe dan yang kecil sama-sama nggak
mau ngalah. Just masa lalu. Hehehe…
Ya,
walau masih SMA, aku memutuskan untuk sekolah jauh dari orang tua. Entah
bagaimana awalnya, tapi sama-sama bersambut. Aku mau, orang tuaku juga
mendukungku. Aku ingin cari suasana yang berbeda saat itu. Jelas bukan
sesederhana itu sebenarnya. Saat itu aku sudah cukup memikirkan tentang masa
depan. Ehem. Mungkin karena pengaruh majalah remaja yang ku baca, GADIS.
Sungguh penuh artikel pengetahuan yang menginspirasi.
TK,
SD, dan SMP bisa dibilang lingkunganku tak jauh berbeda. Maklum kawasan
sekolah. Jadi teman semasa TK hingga SMP tak banyak yang berubah. Dan kalau SMA
pun, bisa dipastikan juga tak jauh berbeda. Hanya nama sekolahnya aja yang
berbeda. Lingkungan dan teman-temannya 70% masih tak jauh beda. Kalau begitu
terus, aku tak berkembang. Itu-itu saja lingkunganku. Banyak hal yang masih
harus ku ketahui dan pelajari. Di lain sisi, karena bercita-cita kuliah di
pulau Jawa, jadi biar beradaptasi dulu, konon katanya peluangnya akan lebih
besar jika SMA dan perguruan tinggi yang dipilih masih dalam satu rayon.
Padahal peluangnya sama saja ya. Hehehe…. Karena itulah orang tuaku juga
mendukung.
Yang
aku agak sedikit heran, orang tuaku hepi-hepi saja anaknya akan pergi, terutama
ibu. Yang lazimnya seorang ibu itu lebih melow dari seorang ayah. Tapi ibuku
tidak. Malah mengingatkan dan membesarkan hatiku, nanti tinggal sama orang lain
itu harus begini dan begitu. Aku pasti akan baik-baik saja. Katanya. Tapi
belakangan ku ketahui kalau saat itu sebenarnya ibuku dag dig dug der juga melepas anak perempuannya pergi, cuma
senjata ibuku iklhas saja. Karena pada intinya anak-anak hanyalah titipan. Doa
saja yang kuat sambil dipantau. Itu pengakuan yang tak sengaja ku dengar saat
teman ibuku cerita tentang anak-anaknya yang kuliah di rantau. Berarti saat itu
ibuku hanya tak ingin memperlihatkan padaku saja! Hmm…
Singkat
kata, akhirnya diputuskan aku melanjutkan SMA di kota kelahiran Ayahku. Karena di sana banyak
adik-adik ayahku yang berprofesi guru, jadi banyak yang memantau dan bisa
dititipi. Ehem. Aku tak diizinkan masuk SMA di kota kelahiranku, tinggal
bersama masku. Tak ada yang memantau nanti, alasannya. Selain itu, sekalian
menemani mbah putriku juga. Akhirnya aku manut. Toh di mana pun sama saja
bagiku, karena tetaplah sesuatu yang baru buatku.
Sebagai
awal adaptasi, ibu dan adikku hanya menemani selama seminggu. Bulan-bulan awal
bisa dipastikan aku mengalami culture shock
alias gegar budaya. Yah, walaupun masih tinggal di keluarga besar, tapi pasti
ada kebiasaan-kebiasaan yang berbeda dengan yang biasa diterapkan di keluarga
intiku. Selain itu seorang "anak kota" harus beradaptasi menjadi
"anak ndeso". Dulu gaulnya ke mall, sekarang gaulnya ke pantai atau
sengaja ke rumah teman di pelosok. Dulu terbiasa dengan hiruk pikuk kota
terbesar ke tiga di Indonesia, sekarang harus akrab dengan kota kecil yang
masih banyak sawah dan tak mengenal mall sama sekali! Yang terbiasa dengan
lancarnya berbahasa Indonesia, harus memutar kembali memoriku akan bahasa Jawa
kasar yang biasa ku pakai di rumah. Bahasa Jawa halus, aku menyerah, hanya bisa
memahami, dan sedikit menirukan.
Untungnya
aku tak di-bullying di sekolah karena
beda. Dan memang tak ada itu di sana. Tapi aku tetap menjadi bahan guyonan dan ledekan mereka karena kekhasanku,
tepatnya logat Jawaku yang aneh. Dan aku menikmatinya, aku menangkapnya sebagai
bentuk perhatian dan kasih sayang mereka padaku. Aku sempat tak habis pikir
ketika berkenalan, beberapa temanku menatap heran saat ku bilang asal kota SMP
ku. Bahkan ada yang berpikir, terus, ngapain jauh-jauh pindah sekolah ke sini?
Hah??? Emangnya nggak boleh? Emangnya aneh? Mungkin mereka tak terbiasa dengan
teman pindahan. Kalau dulu, selama SD-SMP, aku sudah terbiasa saat diperkenalkan
ada teman baru pindahan dari kota lain, dan sekitar setahun dua tahun kemudian
dia pindah lagi. Itu memang sering terjadi.
Selama
SMA ini aku mulai cukup akrab dengan yang namanya wartel! Ya, karena di tempat
inilah aku bisa berkomunikasi dengan keluargaku dengan cukup murah di jam-jam
tertentu. Biasanya pagi hari sebelum jam 6 pagi. Mbak-mbak penjaga wartel pun
sudah hafal denganku. Dan aku sering diberi sovenir jika tarif teleponku telah
mencapai angka tertentu. Lumayan juga jika dikumpulkan, ada frame foto,
gantungan baju, gantungan kunci, dll. Hehehe…
Ibuku
sendiri cukup rutin telepon sebulan sekali tiap akhir bulan menanyakan kabarku.
Walaupun komunikasi kami hanya via telepon, tetapi aku tak merasa jauh, tetap
merasa dekat. Entah bagaimana ibuku mengelolanya. Tapi itulah yang ku rasa. Aku
sama sekali tak merasa asing saat kembali ke rumah ketika mudik. Ibarat kata
jauh di mata tapi dekat di hati.
Ada
satu momen yang buatku terharu. Apa itu? Saat itu, adikku yang notabene baru
masuk SD dan baru bisa menulis, mengirim surat padaku! Aku lupa cerita apa tapi
intinya dia bilang kangen! Lumayan, 2 lembar dengan tulisan gedhe-gedhe khas
anak baru belajar nulis. Huhuhu…. Dan surat itu sempat ku pamerkan pada teman
dekatku. Ehem.
Di masa ini juga aku mulai melakukan petualanganku sendiri. Bepergian sendiri menyebrang pulau dan melintasi provinsi. Deg-degan tapi cukup seru dan menantang. Kelas dua SMA, keluargaku mulai pindah ke pulau kelahiran. Tapi masih beda provinsi denganku dan masku. Walau begitu, tak terlalu jauh, masih bisa dijangkau dengan kereta api selama 6 jam. Awal-awal deg-degan juga, berhubung belum pernah, dan harus naik kereta ekonomi yang perlu oper kereta, tidak bisa langsung. Takut kesasar lebih tepatnya. Tapi bismillah saja. Saat itu sobat-sobatku bilang, "Jangan sendirian, ditemenin siapa gitu…". Lhah, ditemenin siapa lho…. Yang perlu mudik kan aku…. Kalaupun masku mudik juga, berangkatnya dari kota yang berbeda, paling ketemunya nanti di rumah, pas sama-sama udah sampai. Lama-lama aku terbiasa, dan hafal. Jika ada libur 3, 5 atau 7 hari, aku sempatkan mudik.
Pernah
suatu ketika, aku dengan segera membatalkan rencana liburanku bersama
sahabat-sahabatku ke bromo detik itu juga ketika H-1 akan berangkat. Apa pasal?
Ayahku datang! Aku tak kuasa untuk pergi. Jelas, ada satu orang yang sangat
sedih dalam rombongan itu, tapi si dia dan sahabatku yang lain coba menerima
dan mengerti akan keadaanku. Maafkan aku….
Kejadian
lainnya aku sempat "merengek" datang menyusul ketika kedua orang tua
dan adikku datang ke kota masku tinggal. Manja sekali aku malam itu. Persis
anak kecil yang merengek minta dibelikan mainan baru. Saat itu malam Sabtu.
Saat ditelepon, ku bilang aku pengen datang juga. Tak kuasa mendengar canda
mereka berkumpul di hotel, sedangkan aku jauh di ujung telepon. Awalnya orang
tuaku melarangku karena besok aku masih sekolah. Besok pulang sekolah saja, toh
Minggu siang mereka masih di sana. Aku tetap keukeuh aku akan bolos sekolah
saja, toh aku hampir tak pernah bolos ini. Jadi aku masih punya jatah membolos.
Tak kuasa mendengar rengekanku, mereka mengizinkan. Sambil ku seka air mataku
malam itu, aku berkemas untuk berangkat esok subuh. Senangnya!!!
Masuk
kuliah, aku pindah kota lagi. Begitu pun keluargaku. Walau sekarang masih satu
provinsi, tapi beda kabupaten. Perlu waktu sekitar 3-4 jam untuk sampai rumah.
Hanya masku saja yang masih setia menetap di kota kelahirannya. Walaupun cukup
dekat dari sebelumnya, tapi bisa dibilang aku jarang pulang, karena hampir tiap
akhir pekan selalu ada acara di kampus. Hingga suatu ketika seseorang di
provinsi lain memarahiku, tepatnya mengingatkanku, "Nggak sopan, masak
orang tua yang berkunjung ke anaknya!". Agak ga enak mendengarnya, tapi
benar juga katanya. Tapi orang tuaku mampir ke kosan itu juga, pas searah
karena ada acara di kota sebelah. Jadi sekalian mampir, bukan menyengajakan
diri khusus untuk mengunjungiku. Jadi aku tak merasa bersalah juga. Kan mampir.
Belajar
dari pengalaman itulah, saat ini aku usahakan lebih sering pulang daripada
dulu. Yah, setahun 4-6 kali lah. Diusahakan 2-3 bulan sekali. Walau sekarang
jaraknya lebih jauh dari dulu. Selain itu aku memanfaatkan media sms dan
telepon. Ya, sejak kuliah aku mulai punya HP. Tapi awal-awal kuliah tarif
telepon dan sms masih sangat mahal, jadi saat itu terkadang aku juga masih
memanfaatkan jasa wartel. Ingat betul dulu, sekali isi pulsa selalu 100rb untuk
jangka waktu 1,5 bulan. Sekarang, biaya itu bisa untuk 3-4 bulan. Hahaha….
Aku
juga mulai belajar untuk menyengajakan diri telepon atau sms tanpa sebab. Hanya
sekedar menyapa ataupun menanyakan kabar. Kadang aku iseng saat orang tuaku
telepon atau sms, terutama ibu, kadang ku godain, kenapa buk? Kangen ya?
hehehe… paling ibuku komentar, "ditelepon, malah godain…." ^.^
Karena
itulah, saat menggarap revisi skripsi setelah sidang, dosen pembimbingku
bertanya,
"Rencananya mau apa nih abis lulus?"
"Rencananya mau apa nih abis lulus?"
"Pulang,
Bu."
"???....
Iya itu pasti, abis itu?"
"Belum
tahu, yang pasti saya pengen di rumah dulu, Bu"
Begitulah
jawabanku. Dan dosenku cuma menatap heran ke arahku. Mungkin buat orang lain
lebih ingin mengadu nasib entah ke mana, tapi bagiku, aku ingin pulang.
Ada
kejadian 'bego', menurutku. Sekitar dua bulan setelah aku lulus, tiba-tiba aku
ditelepon oleh suatu perusahaan di daerah Jabodetabek sana untuk wawancara.
Katanya tahu profilku dari buku wisuda universitasku. Mereka menanyakan
kesediaanku untuk mengikuti tes penerimaan karyawan baru.
"Emm…
nggak deh mbak, untuk saat ini, kalau tidak jauh dari rumah saya mau, tapi
kalau nggak, saya tidak bersedia."
Terkesan
belagu ya, masih juga fresh gardute udah
milih-milih. Tapi itulah keputusanku. Dan aku tidak merasa menyesal sedikit pun
ketika menolaknya. Saat cerita ke temanku, dia hanya ketawa, iya aneh, orang
mah biasanya ditawari pekerjaan diambil, ini malah ditolak. Hahaha… Biarkan
saja, mereka kan nggak tahu latar belakangku menolaknya. Hehehe…
Saat
kuliah S1 tingkat 3, keluargaku pindah lagi. Kali ini, beda provinsi dengan
tempat ku kuliah. Perlu waktu sekitar 7 jam menggunakan bis atau kereta api
ekonomi menuju ke sana. Dan kali ini pula, adikku yang saat itu sudah kelas 5
SD, diputuskan untuk tak ikut. Dikirim ke kota kelahiranku bersama dengan
masku. Alasannya biar adikku tak lagi menjadi korban mutasi. Yah, di
keluargaku, adikku inilah yang terparah menjadi korban mutasi. Bayangkan saja
dia pindah SD sebanyak 4 kali! ---*Maka jangan heran kalau pelajaran bahasa
daerahnya selalu jelek, karena tiap kali pindah sekolah, dia harus belajar
bahasa daerah baru.*--- Mengingat sebentar lagi akan masuk SMP, maka biar
adaptasi dulu, toh sebentar lagi ayahku pensiun dan kami akan menetap di sana.
Jadilah pengorbanan ibu dan perannya sangat berarti. Bayangkan 3 dapur! Dua
tahun menjelang ayahku pensiun, ibuku wira-wiri
sebulan dua kali untuk membagi tugasnya sebagai ibu dan sebagai istri. Capek,
tapi harus dijalani. Untungnya di kota kelahiranku itu ada budhe dan
keluarganya yang menemani adik dan masku itu. Paling tidak, masalah makan sudah
ada yang mengurus.
Di
momen-momen inilah, saat-saat kebersamaan sebagai keluarga sangat berarti. Kami
memang tak lagi menganut quantity time,
tapi lebih menganut quality time. Karena
itulah yang paling mungkin kami lakukan. Saat berkumpul, kadang ibuku heran kok
makanan kita cepat habis, lupa, kan anaknya lagi ngumpul semua…. Hehehe.
Aku
pernah merasa sepi sekali saat lebaran. Tak ingat pasti waktunya kapan, tapi
yang pasti saat-saat terakhir kuliah S1 ku. Saat itu kami sekeluarga tak bisa
berlebaran bersama seperti sebelumnya. Saat itu ayahku baru pindah di tempat
baru, yang bisa pulang cuma aku dan adikku. Masku tak bisa tepat saat hari H.
Sedangkan ayahku sedang kebagian jaga selama seminggu lebaran, jadi kami pun
tak bisa mudik ke kampung halaman. Kalaupun mau mudik, hanya aku, ibu, dan
adikku saja, sedangkan ayahku menyusul kemudian saat para om-tante dan sepupuku
sudah waktunya kembali ke rumah masing-masing. Duh, malasnya… kan jadi nggak
bisa ketemu saudara…. Merana sekali rasanya aku tahun itu. Yang ada, kami pun
ikut ayahku keliling dari satu tempat ke tempat lain untuk melakukan pengecekan
saat jaga selama lebaran itu. Daripada kami di rumah sendiri, sedangkan para
tetangga juga mudik, mending ikut muter-muter. Itung-itung jadi ikut merasakan
perasaan keluarga para pak polisi dan tentara yang sedang tugas di saat orang lain
sedang liburan.
Kejadian
lainnya, karena keluargaku di saat menjelang pensiunnya ayahku sering
berpindah-pindah, aku sempat mengalami linglung ketika pulang ke rumah. Dalam
arti aku hampir tak pernah hafal tempat-tempat penyimpanan barang-barang di
rumahku. Terutama kalau sudah masuk dapur. Tak jarang aku bertanya pada adikku,
gunting di mana ya? Spidol di mana? Hmm….
Kadang
lucu juga, judulnya aku pulang ke rumah, tapi aku tak mengenal rumahku sendiri.
Parah!
Alhamdulillah,
aku merasakan sekitar 1,5 tahun setelah kelulusan S1 ku untuk berada di rumah
sendiri, dengan anggota keluarga yang lengkap. Aku sungguh menikmatinya.
Kembali berkumpul saat dulu masku belum kuliah. Aku serasa memiliki keluarga
yang utuh dan normal. Walaupun siangnya kami meninggalkan rumah, tapi sore atau
malamnya kami berkumpul kembali.
Walaupun
orang tuaku selama ini menjalani kehidupan keluarga yang long distance, tapi bukan berarti mereka,
terutama ibuku mendukung jika ada keluarga lain yang menjalani long distance juga. Aku sendiri heran, tapi
ini kejadian. Salah satu sepupuku, saat baru menikah juga harus menjalani LDR,
lebih tepatnya LDL (Long Distance Love)
karena baru saja menikah. Apa pasal? Dia baru saja diterima bekerja dan
ditempatkan di Indonesia bagian tengah, sedangkan istrinya mendapatkan beasiswa
S2 di Australia yang pengurusannya sudah dilakukan sejak sebelum menikah.
Sesuai kesepakatan, akhirnya mereka harus LDL, kangen, tapi bagaimana lagi.
Ingin menyusul istri, tapi keadaan keuangan belum mencukupi. Sang istri pun
menyelesaikan kuliahnya dalam waktu 1,5 tahun. Tapi belum boleh kembali karena
sisa beasiswa tak boleh diuangkan. Akhirnya menetap lagi selama 6 bulan untuk
bekerja part time sekalian menambah tabungan hingga genap 2 tahun jatah
beasiswanya habis. Sekarang sih, anaknya sudah dua ^^
Melihat
kejadian ini ibuku sempat komentar,
"Duh,
masih muda sudah jarak jauh."
"Ya
nggak papa lha, Buk, perjuangan." jawabku nyantai.
"Nggak,
masih muda sebisa mungkin jangan jarak jauh, banyak godaan.", sahut ibuku
singkat.
Mungkin
ibuku mewanti-wanti seperti itu karena telah mengalami sendiri beratnya
keluarga LDL itu. Walau dari luar tampak oke-oke saja, tapi proses menjaga
keharmonisan itu tampaknya penuh tantangan yang harus dilewati. Ya, aku setuju
itu, tapi kalau sudah sama-sama sepakat, ya sudah.
Sekarang
pun, keluarga intiku masih hidup terpisah-pisah. Tiga orang anggotanya
merantau. Hehehe….
Aku
pikir setelah Ayahku pensiun dari tempat bekerjanya selama ini, kami tak akan
menjalani long distance lagi. Cukup
anak-anaknya saja yang berkelana, ternyata belum bisa. Suatu ketika aku
menerima telepon dari seorang ibu teman orang tuaku. Saat itu orang tuaku
sedang pergi, lalu bertanya tentang kabar mereka.
"Apa?
Bapak kerja lagi di luar kota? Bukannya udah pensiun?"
"Iya
sih, tapi sepertinya belum kepengen diam. Hehehe…."
"Yah,
kalau dua-duanya sama-sama ikhlas, ya ga papa ya mbak"
Hehehe….
Teman orang tuaku ini mungkin tak habis pikir, sudah waktunya 'istirahat'
kenapa masih berjauhan juga… tapi itulah pilihan orang tuaku saat ini.
Entah
sampai kapan keluarga kami akan menjalani long distance. Emm…. Aku tahu
jawabannya sebenarnya. Menunggu momen itu! Semoga tak berapa lama lagi. Aamiin.
*251011
aoi
0 komentar:
Posting Komentar