Aku
Sudah Terlalu Kenyang Dengan Long Distance
Aku
sudah terlalu kenyang dengan yang namanya Long Distance Relationship alias LDR. Nggak keluarga inti, keluarga besar,
sahabat, kekasih, teman, semuanya. Sungguh, sudah terlalu kenyang.
Zaman
diriku masih SD dan SMP, aku awalnya bertanya-tanya, dan akhirnya menyadari.
Ada yang tak sama antara keluargaku dengan keluarga teman-teman sekolahku.
Terutama sahabatku. Saat itu, saking dekatnya aku dengan sahabatku ini, aku
sering bermain dan akhirnya menginap, dan tak jarang diajak ikut pula ke acara
keluarga mereka. Selain itu orang tuaku dan orang tua sahabatku ini juga
akhirnya sangat dekat. Yang membuatku terkesan adalah kekeluargaan di dalam
keluarga besar temanku ini begitu erat. Tak jarang saat aku main di waktu akhir
pekan di rumah sahabatku ini, sepupu ataupun om dan tantenya juga sedang datang
berkunjung. Lama-lama aku berpikir, "Iya, ya. Kok keluarga besarku hampir
tidak pernah datang berkunjung ke rumahku ya? Pengen deh, sekali waktu mereka
jugaberkunjung ke rumah…. Dan pertanyaan itu pernah ku lontarkan pada Ibuku,
"Kenapa sih om dan tante tak pernah berkunjung ke rumah kita?"
Sebenarnya,
pertanyaan dan keheranan itu dengan mudah dan segera bisa ku jawab, dan segera
ku mengerti alasannya. Hanya saja, aku tetap berharap itu terjadi dengan lebih
nyata! Ya, bagaimana tidak? Pada masa itu, keluarga intiku sedang merantau.
Bisa dibilang, kamilah yang terjauh dan terlama merantau sekeluarga saat itu.
Ada sih, satu tanteku yang ke luar pulau kelahiran juga, tapi mungkin hanya
sekitar 5 tahun, lalu balik lagi ke kampung halaman saat anaknya sudah akan
masuk SD. Kami? Lebih dari itu. Aku sendiri mengalami hidup di tanah rantau
pulau seberang selama 10 tahun. Sedangkan orang tuaku sekitar 12 tahun.
Ya,
keluarga besarku tak datang bukan karena mereka tak menyayangi kami, bukan
karena mereka tak ingin. Bukan! Tapi memang karena keterbatasan fasilitas
penunjang. Apalagi masa-masa itu, hampir semuanya masih sedang dalam masa-masa
"merintis". Ada yang datang, sepupuku yang paling tua dan tante
jauhku yang masih sangat muda saat itu, itu pun karena mereka juga ingin
mengadu nasib di rantau. Bukan untuk sekedar 'berkunjung'. Walau memang
akhirnya tinggal bersama kami juga. Tapi bukan kunjungan seperti itu yang ku
maksud dan ku idam-idamkan selama ini.
Ada
sih, satu dua omku yang datang berkunjung. Tapi itu hanya satu dua kali dan
itupun karena biasanya ada tugas ke luar kota di kota kami tinggal dulu. Jadi,
ceritanya mampir. Jadi ya, hanya bapak-bapaknya saja. Tanpa anak dan istrinya.
Satu-dua hari atau bahkan hanya beberapa jam!
Keluarga
intiku memang tidak bisa tiap tahun pulang untuk mudik. Pertama, harus menabung
dulu jauh-jauh hari, kedua, harus menunggu cuti panjang ayahku turun dan
"mengepaskannya" dengan jadwal libur sekolah anak-anaknya. Aku
terbiasa berlebaran via telepon dan kartu ucapan dengan keluarga besarku,
terutama kedua nenek dan para sepupuku. Karena itulah, kantor pos saat itu
sangat akrab dengan keluargaku. Aku sering menemani ibuku mengirim paket ke
kantor pos besar pusat. Sampai aku hafal cara membungkus paket pos dengan baik,
cara mangirimnya hingga biaya yang harus dikeluarkan per kilonya. Dan karena
itulah, di rumahku selalu tersedia gulungan sampul coklat besar, lakban coklat
besar beserta alat pemotongnya yang praktis, tali rafia, spidol permanen besar,
kardus-kardus bekas, amplop, lem kertas, solasi kecil, dan gunting besar. Hmm….
Selain
itu aku juga punya sahabat pena yang tak lain tak bukan adalah sepupuku
sendiri. Hingga sekarang pun. Cuma sekarang sudah tak seintens dahulu dan
sekarang medianya berubah menjadi surat elektronik alias e-mail. Entah mulainya
bagaimana, yang pasti, kelas satu SD aku sudah surat-suratan dengan sepupuku
itu. Awal-awal, kadang aku menerima surat dengan amplop yang alamatnya ditulis
oleh tanteku. Mungkin tulisan anak kecil agak susah dibaca pegawai pos karena
itulah tanteku menuliskannya untuk anaknya.
Di
masa ini jualah aku mulai belajar membuat tanda tangan. Ya! Aku perlu sebuah
identitas diri, sesuatu yang menandakan diriku di setiap akhir suratku. Dari yang awalnya meniru tanda tangan punya
Pak RT karena kesedarhanaannya mudah untuk ditiru, hingga beberapa bulan kemudian aku menemukan gaya
coretanku sendiri yang ternyata cukup rumit. Tapi aku hafal. Hehehe…. Dan
akhirnya awal SMP aku mengubah tanda tanganku. Entah karena apa. Ingin berubah
saja, mungkin seiring perkembanganku. Aku ingin tampak lebih dewasa! Dan
tentunya tak ingin coretan-coretan ruwet sebagai identitasku. Aku mengubahnya
total dan tampak lebih sederhana, walau masih ada liku-likunya sedikit. Sampai
detik ini, tanda tanganku hanya berubah 3 kali. Awal saat meniru punya pak RT,
gayaku yang sangat ruwet terabadikan di ijazah SD, dan ijazah-ijazah berikutnya
tanda tangannya tak jauh berbeda hingga kini. Paling hanya satu dua garis kecil
yang beda. Misal, dulu pakai garis bawah, sekarang tidak. Begitulah.
Kembali
lagi tentang surat-suratan. Karena kegiatan ini, aku hafal harga perangko untuk
mengirim surat ke sepupuku itu. Lamaya sekitar seminggu untuk sampai. Saat itu
aku masih merasakan harga perangko 150 perak hingga tak lama kemudian 300, 500,
dan bertahap naik hingga terakhir yang ku ingat itu 3000 rupiah. Aku terbiasa
membawanya saat berangkat sekolah dan mengeposkannya pulang sekolah di kantor
pos depan sekolahku. Jadi, saat ada pelajaran belajar mengirim surat saat itu,
jelas aku tak merasa kesulitan. Hehehe….
Emangnya
apa aja isi surat-surat kami itu? Hahaha…. Macam-macam khas anak kecil. Cerita
sehari-hari di rumah, kisah di sekolah, kecengan cinta monyet, hingga cita-cita
kami. Memang tidak tiap bulan, tapi cukup rutin. Sekitar 3-4 bulan sekali. Dan
sekalinya ngirim, pasti berlembar-lembar karena rangkuman kisah beberapa bulan
sebelumnya. Tak hanya bertukar cerita, kami juga bertukar hadiah saat ulang
tahun. Biasanya sih, sesuatu buatan sendiri, misal kartu ucapan ataupun apalah,
yang penting ringan dan cukup untuk dimasukkan ke dalam amplop surat kecil. Dan
seringnya tak jauh-jauh dari bahan kertas juga, stiker, kertas surat lucu (dulu
aku memang pengoleksi berbagai jenis kertas surat), ataupun kertas binder yang bergambar. Rasanya sudah senang
sekali saat menerimanya.
Senangnya
juga. Keluargaku sangat menjunjung tinggi privasi. Ya! Walaupun waktu itu masih
anak-anak bau kencur, orang tuaku tak pernah menyobek surat yang datang dan
diam-diam membacanya. Tidak. Pasti sampai padaku dengan selamat. Hanya aku yang
baca. Karena itulah, saat SD ada teman lawan jenis yang mengirim surat, aman
saja sampai padaku. Hahaha….
Karena
kebiasaan ini juga mungkin aku jadi kreatif untuk membuat kartu ucapan lebaran
sendiri dari selembar karton jeruk warna-warni yang bentuknya aneh-aneh dan tak
lazim. Ya, saat itu amplop surat biasanya berbentuk persegi panjang ataupun
bujur sangkar. Nah, aku tak ingin sama. Entah bagaimana aku melipat dan
mengguntingnya, yang pasti ada yang berbentuk segi tiga, segi lima, lingkaran,
ataupun segi berapa yang tak beraturan. Aku hanya ingin beda dan orisinil.
Dasar, anak SD udah banyak gaya.
Selain
membuat kartu ucapan sendiri, aku juga belajar cara melipat surat yang tak
biasa. Agak rumit tapi nanti akhirnya tetap berbentuk persegi panjang. Mau tahu
caranya? Lipat kertas surat itu menjadi segitiga, lalu bentuk menjadi trapesium
siku-siku, bentuk menjadi persegi panjang besar, dan terakhir bentuk menjadi
persegi panjang kecil. Bingung? Memang tak perlu untuk dibayangkan. Hahaha….
Entahlah,
apakah anak-anak sekarang bisa merasakan saat-saat bahagia ketika pulang
sekolah diberitahu, ada surat buatmu nih, dek! Wuah…. Rasanya membuncah, dan
tak sabar untuk membacanya. Bisakah? Rasanya tidak. Medianya sudah beda
sekarang.
Kembali
ke kunjungan keluarga besar. Akhirnya aku merasakannya juga saat sekarang
keluarga intiku punya alamat tinggal menetap. Hahaha…. Emangnya dulu nomaden?
Mirip. Hehehe… sudah di rantau pulau seberang, nomaden lagi! Empat kali kami
pindah tempat tinggal dalam kota yang sama saat itu. Sekarang pun walau alamat
tinggalnya tetap, tapi orang-orang yang di dalamnya masih nomaden. Hihihi…..
Perlahan
aku mulai ikut menikmati momen-momen layaknya keluarga besar 'normal' lainnya
saat orang tuaku pindah ke pulau kelahirannya. Walaupun beda provinsi, tapi
masih satu pulau. Dan saat itu, perlahan kondisi perekonomian keluarga besarku
sudah mulai membaik. Masih bisa lha diusahakan lewat jalan darat kalau memang
diniatin. Masih agak terjangkau. Walau mungkin awal-awal hanya setahun sekali
ataupun saat ada hajatan besar saja. Tapi itu pun terjadi saat aku sudah pisah
tinggal dengan orang tua. Jadi kurang greget juga sebenarnya. Karena aku
termasuk orang yang mengunjugi rumahku sendiri. Aneh rasanya. Bukan menjamu,
tapi aku yang dijamu.
Saat
aku jarang berkumpul secara rutin dengan keluarga besarku, terus terang
aku--kami sekeluarga khususnya tak pernah merasa kesepian. Karena di rantau,
para sesama perantau ini membuat komunitas, dan hubungan kami dengan teman dan
tetangga sangat baik. Hingga seperti saudara
saja. Lebaran pun tak pernah sepi! Malah kalau mau jujur, lebih ramai
tamu saat kami masih jadi perantau di pulau seberang daripada di kota
kelahiranku jika lebaran datang. Aneh? Hmm… Mungkin ini karena budaya yang
berbeda. Di sana, wajib dalam hukum tak tertulis, untuk saling membalas
kunjungan saat lebaran tiba. Misal, hari ini kamu berkunjung ke rumahku, maka
aku pasti akan berkunjung ke rumahmu juga nantinya, karena merasa punya hutang
'berkunjung'. Kalau tidak, aku akan dicap 'sombong' olehmu. ^^
Tiga
hari pertama menu jamuannya biasanya makanan berat dan setengah berat, misal
nasi, ketupat, lontong plus pelengkapnya atau jajanan yang cukup mengenyangkan
seperti bakso. Hari-hari berikutnya hingga H+7 barulah kue-kue khas lebaran
buatan tangan. Yang berarti bukan kue ataupun biskuit dalam kemasan kaleng, tak
berlaku itu di sana. Jam bertamu juga sangat panjang. Bisa sampai jam 12 malam.
Dan itu masih dalam kategori sopan jika saat lebaran. Kebayang kan ramainya?
Kalau saat ini? Di kota kelahiranku sendiri, malah sepi sekali….
Sekarang?
Tempat tinggal keluargaku sudah semakin terjangakau oleh keluarga besarku. Dan
sekarang pada umumnya kondisi ekonominya sudah membaik, jadi peluang untuk
bertemu lebih sering lagi frekuensinya. ^^
Tak
ada keluarga besar di sisi, tapi yakinlah mereka tetap menanti.
Tak
ada keluarga besar di sisi, teman baikmu di sisi adalah keluarga besarmu jua.
*251011
aoi
0 komentar:
Posting Komentar