Rabu, 26 Oktober 2011

Seri LDR 1: Keluarga Besar

Aku Sudah Terlalu Kenyang Dengan Long Distance

Aku sudah terlalu kenyang dengan yang namanya Long Distance Relationship alias LDR. Nggak keluarga inti, keluarga besar, sahabat, kekasih, teman, semuanya. Sungguh, sudah terlalu kenyang.



LDR

Zaman diriku masih SD dan SMP, aku awalnya bertanya-tanya, dan akhirnya menyadari. Ada yang tak sama antara keluargaku dengan keluarga teman-teman sekolahku. Terutama sahabatku. Saat itu, saking dekatnya aku dengan sahabatku ini, aku sering bermain dan akhirnya menginap, dan tak jarang diajak ikut pula ke acara keluarga mereka. Selain itu orang tuaku dan orang tua sahabatku ini juga akhirnya sangat dekat. Yang membuatku terkesan adalah kekeluargaan di dalam keluarga besar temanku ini begitu erat. Tak jarang saat aku main di waktu akhir pekan di rumah sahabatku ini, sepupu ataupun om dan tantenya juga sedang datang berkunjung. Lama-lama aku berpikir, "Iya, ya. Kok keluarga besarku hampir tidak pernah datang berkunjung ke rumahku ya? Pengen deh, sekali waktu mereka jugaberkunjung ke rumah…. Dan pertanyaan itu pernah ku lontarkan pada Ibuku, "Kenapa sih om dan tante tak pernah berkunjung ke rumah kita?"

Sebenarnya, pertanyaan dan keheranan itu dengan mudah dan segera bisa ku jawab, dan segera ku mengerti alasannya. Hanya saja, aku tetap berharap itu terjadi dengan lebih nyata! Ya, bagaimana tidak? Pada masa itu, keluarga intiku sedang merantau. Bisa dibilang, kamilah yang terjauh dan terlama merantau sekeluarga saat itu. Ada sih, satu tanteku yang ke luar pulau kelahiran juga, tapi mungkin hanya sekitar 5 tahun, lalu balik lagi ke kampung halaman saat anaknya sudah akan masuk SD. Kami? Lebih dari itu. Aku sendiri mengalami hidup di tanah rantau pulau seberang selama 10 tahun. Sedangkan orang tuaku sekitar 12 tahun.

Ya, keluarga besarku tak datang bukan karena mereka tak menyayangi kami, bukan karena mereka tak ingin. Bukan! Tapi memang karena keterbatasan fasilitas penunjang. Apalagi masa-masa itu, hampir semuanya masih sedang dalam masa-masa "merintis". Ada yang datang, sepupuku yang paling tua dan tante jauhku yang masih sangat muda saat itu, itu pun karena mereka juga ingin mengadu nasib di rantau. Bukan untuk sekedar 'berkunjung'. Walau memang akhirnya tinggal bersama kami juga. Tapi bukan kunjungan seperti itu yang ku maksud dan ku idam-idamkan selama ini.

Ada sih, satu dua omku yang datang berkunjung. Tapi itu hanya satu dua kali dan itupun karena biasanya ada tugas ke luar kota di kota kami tinggal dulu. Jadi, ceritanya mampir. Jadi ya, hanya bapak-bapaknya saja. Tanpa anak dan istrinya. Satu-dua hari atau bahkan hanya beberapa jam!

Keluarga intiku memang tidak bisa tiap tahun pulang untuk mudik. Pertama, harus menabung dulu jauh-jauh hari, kedua, harus menunggu cuti panjang ayahku turun dan "mengepaskannya" dengan jadwal libur sekolah anak-anaknya. Aku terbiasa berlebaran via telepon dan kartu ucapan dengan keluarga besarku, terutama kedua nenek dan para sepupuku. Karena itulah, kantor pos saat itu sangat akrab dengan keluargaku. Aku sering menemani ibuku mengirim paket ke kantor pos besar pusat. Sampai aku hafal cara membungkus paket pos dengan baik, cara mangirimnya hingga biaya yang harus dikeluarkan per kilonya. Dan karena itulah, di rumahku selalu tersedia gulungan sampul coklat besar, lakban coklat besar beserta alat pemotongnya yang praktis, tali rafia, spidol permanen besar, kardus-kardus bekas, amplop, lem kertas, solasi kecil, dan gunting besar. Hmm….

Selain itu aku juga punya sahabat pena yang tak lain tak bukan adalah sepupuku sendiri. Hingga sekarang pun. Cuma sekarang sudah tak seintens dahulu dan sekarang medianya berubah menjadi surat elektronik alias e-mail. Entah mulainya bagaimana, yang pasti, kelas satu SD aku sudah surat-suratan dengan sepupuku itu. Awal-awal, kadang aku menerima surat dengan amplop yang alamatnya ditulis oleh tanteku. Mungkin tulisan anak kecil agak susah dibaca pegawai pos karena itulah tanteku menuliskannya untuk anaknya.

Di masa ini jualah aku mulai belajar membuat tanda tangan. Ya! Aku perlu sebuah identitas diri, sesuatu yang menandakan diriku di setiap akhir suratku.  Dari yang awalnya meniru tanda tangan punya Pak RT karena kesedarhanaannya mudah untuk ditiru, hingga  beberapa bulan kemudian aku menemukan gaya coretanku sendiri yang ternyata cukup rumit. Tapi aku hafal. Hehehe…. Dan akhirnya awal SMP aku mengubah tanda tanganku. Entah karena apa. Ingin berubah saja, mungkin seiring perkembanganku. Aku ingin tampak lebih dewasa! Dan tentunya tak ingin coretan-coretan ruwet sebagai identitasku. Aku mengubahnya total dan tampak lebih sederhana, walau masih ada liku-likunya sedikit. Sampai detik ini, tanda tanganku hanya berubah 3 kali. Awal saat meniru punya pak RT, gayaku yang sangat ruwet terabadikan di ijazah SD, dan ijazah-ijazah berikutnya tanda tangannya tak jauh berbeda hingga kini. Paling hanya satu dua garis kecil yang beda. Misal, dulu pakai garis bawah, sekarang tidak. Begitulah.


Kembali lagi tentang surat-suratan. Karena kegiatan ini, aku hafal harga perangko untuk mengirim surat ke sepupuku itu. Lamaya sekitar seminggu untuk sampai. Saat itu aku masih merasakan harga perangko 150 perak hingga tak lama kemudian 300, 500, dan bertahap naik hingga terakhir yang ku ingat itu 3000 rupiah. Aku terbiasa membawanya saat berangkat sekolah dan mengeposkannya pulang sekolah di kantor pos depan sekolahku. Jadi, saat ada pelajaran belajar mengirim surat saat itu, jelas aku tak merasa kesulitan. Hehehe….

Emangnya apa aja isi surat-surat kami itu? Hahaha…. Macam-macam khas anak kecil. Cerita sehari-hari di rumah, kisah di sekolah, kecengan cinta monyet, hingga cita-cita kami. Memang tidak tiap bulan, tapi cukup rutin. Sekitar 3-4 bulan sekali. Dan sekalinya ngirim, pasti berlembar-lembar karena rangkuman kisah beberapa bulan sebelumnya. Tak hanya bertukar cerita, kami juga bertukar hadiah saat ulang tahun. Biasanya sih, sesuatu buatan sendiri, misal kartu ucapan ataupun apalah, yang penting ringan dan cukup untuk dimasukkan ke dalam amplop surat kecil. Dan seringnya tak jauh-jauh dari bahan kertas juga, stiker, kertas surat lucu (dulu aku memang pengoleksi berbagai jenis kertas surat), ataupun kertas binder yang bergambar. Rasanya sudah senang sekali saat menerimanya.

Senangnya juga. Keluargaku sangat menjunjung tinggi privasi. Ya! Walaupun waktu itu masih anak-anak bau kencur, orang tuaku tak pernah menyobek surat yang datang dan diam-diam membacanya. Tidak. Pasti sampai padaku dengan selamat. Hanya aku yang baca. Karena itulah, saat SD ada teman lawan jenis yang mengirim surat, aman saja sampai padaku. Hahaha….

Karena kebiasaan ini juga mungkin aku jadi kreatif untuk membuat kartu ucapan lebaran sendiri dari selembar karton jeruk warna-warni yang bentuknya aneh-aneh dan tak lazim. Ya, saat itu amplop surat biasanya berbentuk persegi panjang ataupun bujur sangkar. Nah, aku tak ingin sama. Entah bagaimana aku melipat dan mengguntingnya, yang pasti ada yang berbentuk segi tiga, segi lima, lingkaran, ataupun segi berapa yang tak beraturan. Aku hanya ingin beda dan orisinil. Dasar, anak SD udah banyak gaya. 

Selain membuat kartu ucapan sendiri, aku juga belajar cara melipat surat yang tak biasa. Agak rumit tapi nanti akhirnya tetap berbentuk persegi panjang. Mau tahu caranya? Lipat kertas surat itu menjadi segitiga, lalu bentuk menjadi trapesium siku-siku, bentuk menjadi persegi panjang besar, dan terakhir bentuk menjadi persegi panjang kecil. Bingung? Memang tak perlu untuk dibayangkan. Hahaha….

Entahlah, apakah anak-anak sekarang bisa merasakan saat-saat bahagia ketika pulang sekolah diberitahu, ada surat buatmu nih, dek! Wuah…. Rasanya membuncah, dan tak sabar untuk membacanya. Bisakah? Rasanya tidak. Medianya sudah beda sekarang.


Kembali ke kunjungan keluarga besar. Akhirnya aku merasakannya juga saat sekarang keluarga intiku punya alamat tinggal menetap. Hahaha…. Emangnya dulu nomaden? Mirip. Hehehe… sudah di rantau pulau seberang, nomaden lagi! Empat kali kami pindah tempat tinggal dalam kota yang sama saat itu. Sekarang pun walau alamat tinggalnya tetap, tapi orang-orang yang di dalamnya masih nomaden. Hihihi…..

Perlahan aku mulai ikut menikmati momen-momen layaknya keluarga besar 'normal' lainnya saat orang tuaku pindah ke pulau kelahirannya. Walaupun beda provinsi, tapi masih satu pulau. Dan saat itu, perlahan kondisi perekonomian keluarga besarku sudah mulai membaik. Masih bisa lha diusahakan lewat jalan darat kalau memang diniatin. Masih agak terjangkau. Walau mungkin awal-awal hanya setahun sekali ataupun saat ada hajatan besar saja. Tapi itu pun terjadi saat aku sudah pisah tinggal dengan orang tua. Jadi kurang greget juga sebenarnya. Karena aku termasuk orang yang mengunjugi rumahku sendiri. Aneh rasanya. Bukan menjamu, tapi aku yang dijamu.

Saat aku jarang berkumpul secara rutin dengan keluarga besarku, terus terang aku--kami sekeluarga khususnya tak pernah merasa kesepian. Karena di rantau, para sesama perantau ini membuat komunitas, dan hubungan kami dengan teman dan tetangga sangat baik. Hingga seperti saudara  saja. Lebaran pun tak pernah sepi! Malah kalau mau jujur, lebih ramai tamu saat kami masih jadi perantau di pulau seberang daripada di kota kelahiranku jika lebaran datang. Aneh? Hmm… Mungkin ini karena budaya yang berbeda. Di sana, wajib dalam hukum tak tertulis, untuk saling membalas kunjungan saat lebaran tiba. Misal, hari ini kamu berkunjung ke rumahku, maka aku pasti akan berkunjung ke rumahmu juga nantinya, karena merasa punya hutang 'berkunjung'. Kalau tidak, aku akan dicap 'sombong' olehmu. ^^

Tiga hari pertama menu jamuannya biasanya makanan berat dan setengah berat, misal nasi, ketupat, lontong plus pelengkapnya atau jajanan yang cukup mengenyangkan seperti bakso. Hari-hari berikutnya hingga H+7 barulah kue-kue khas lebaran buatan tangan. Yang berarti bukan kue ataupun biskuit dalam kemasan kaleng, tak berlaku itu di sana. Jam bertamu juga sangat panjang. Bisa sampai jam 12 malam. Dan itu masih dalam kategori sopan jika saat lebaran. Kebayang kan ramainya? Kalau saat ini? Di kota kelahiranku sendiri, malah sepi sekali….

Sekarang? Tempat tinggal keluargaku sudah semakin terjangakau oleh keluarga besarku. Dan sekarang pada umumnya kondisi ekonominya sudah membaik, jadi peluang untuk bertemu lebih sering lagi frekuensinya. ^^

Tak ada keluarga besar di sisi, tapi yakinlah mereka tetap menanti.
Tak ada keluarga besar di sisi, teman baikmu di sisi adalah keluarga besarmu jua.

*251011

aoi

0 komentar:

Posting Komentar