Selasa, 05 Juli 2011

Andai Kalian di Sisi

Malam semakin larut. Menjelang pagi bahkan. Dia baru saja menyelesaikan film serial yang sudah kesekian kalinya dia tonton. Tak bosan karena itu aktor favoritnya. Tak bosan karena ceritanya menarik. Tak bosan karena dia butuh, butuh akan pesan dari film itu. Dan bukan karena tak bosan malam ini dia mengulanginya lagi, itu lebih karena untuk menjauhkannya sejenak dari rasa sepi.

Sudah cukup, waktunya istirahat malam ini, besok masih ada agenda pagi yang harus dikerjakan jika tak ingin berantakan semuanya. Setelah dia matikan laptopnya, langsung dia rebahkan tubuhnya di kasur kesayangannya. Ia tarik selimut untuk menghalau dingin. Sekilas, ia menoleh ke kiri, teman di kasur sebrangnya telah terlelap sejak lama tadi. Ya, hanya seorang teman biasa.

Tiba-tiba pikiran itu kembali datang, hingga mencegahnya untuk segera terlelap. Sudah sejak lama sebenarnya dia menyadari, tapi malam ini dia semakin paham. Betapa rapuhnya dia sekarang, berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. Dia tahu, tak bisa terus membiarkan dirinya seperti ini. Dan dia semakin paham mengapa dulu dia begitu kuat walau masalah yang datang padanya lebih banyak dari sekarang. Sungguh, dia tahu jawabannya.

Malam ini, dia semakin rindu, rindu akan sahabat-sahabat terbaiknya. Mengenang sejenak perjalanan hidupnya. Di masa sekolah, baik itu saat berseragam putih-merah, putih-biru, maupun putih-abu, dia sangat kaya dan berlimpah. Dan dia untuk pertama kalinya sadar akan kekayaan itu saat berseragam putih-abu. Ketika itu sahabat penanya berkomentar dalam surat balasannya bahwa sahabatnya itu iri pada keadaan dirinya kala itu. Keadaan ketika ia berlimpah kasih sayang. "Aku iri padamu, sepertinya ada saja teman untuk tempat berbagi bermacam hal", begitulah tulis sahabat penanya saat itu. Saat itulah dia baru tersadar betapa besar karunia Tuhan padanya.

Ya, dia sangat kaya dan berlimpah akan kasih sayang dari sahabat-sahabat terbaiknya yang selalu berada di sekelilingnya. Saat berseragam putih-merah, memang hanya ada dua sahabat terdekatnya, tapi mereka sungguh menguatkannya. Lalu, saat berseragam putih-biru sahabat dekatnya berganti dan jumlahnya bertambah menjadi enam orang. Dua sahabat lamanya sudah berbeda jalur dengan dirinya saat itu. Dan ketika  berseragam putih-abu di kota yang baru, sahabat-sahabat terbaiknya semakin banyak , terutama datang malah dari lawan jenisnya. Ada satu dua dari sesama jenisnya sendiri. Di masa ini, dia tak dapat menghitung dengan pasti berapa sahabat-sahabat terbaiknya. Yang pasti lebih banyak dari sebelumnya. Mereka ini unik dan saling mengisi. Sehingga dia punya tempat sendiri-sendiri, misal jika ingin berbagi masalah cita-cita datang ke si A, berbagi hal yang lain, lebih seru ke si B. Sungguh, dia menikmati masa-masa ini.

Saat kuliah memasuki masanya, sahabat-sahabat terbaiknya ada yang berganti dan bertambah. Beberapa dari masa sekolah masih bisa bertahan, dan beberapa dari masa kuliah ini. Yang sangat dekat ada dua orang, dan tiga yang lainnya ikut menguatkan dirinya di saat-saat tertentu. Lingkungan yang sanagt kondusif dan mendukung, kali ini malah datang dari jenisnya sendiri. Sahabat lawan jenis tetap lebih dia temukan dari masa-masa sekolahnya, walau ada satu sahabat lawan jenis yang dia temukan, tapi itu hanya sebentar kebersamaannya. Sungguh berlimpah akan kasih sayang.

Saat sudah lulus dia pulang kampung. Di tempat kerja dan lingkungan rumah barunya, sama sekali belum dia temukan sahabat-sahabat baru yang hebat. Hanya sebatas teman. Yang sering dia lakukan tanpa disadarinya adalah dia tetap kembali mencari sahabat-sahabatnya dari masa lalu ketika merasa tak berdaya.

Kali ini pun, malam ini, dia sadar, betapa rapunhya dia tanpa topangan sahabat-sahabat terbaiknya. Mereka kini semua telah jauh dari jangkauan raganya. Perlu waktu berjam-jam untuk bisa bertemu dengan mereka langsung. Sungguh, dia merindukan mereka malam ini. Dia membutuhkan mereka. Walaupun banyak orang yang bilang bahwa dia sosok yang kuat dan tegar, tapi dia akhirnya sadar, bahwa itu semua karena topangan orang-orang di sekelilingnya. Dia merasa tak sempurna saat sendiri.

Sekarang, saat sahabat-sahabatnya jauh dari jangkauan, masalah yang datang sebenarnya sedikit, hanya satu dua, tak sebanyak dahulu. Tapi, walau hanya satu dua perlu pemikiran yang mendalam. "Ya Tuhan, sungguh Engkau tahu kapasitas hambamu ini…", gumamnya.


_________________________________



Esok siangnya dia sudah terlibat percakapan dengan salah satu sahabatnya di pulau seberang.

"Aku harus bagaimana sebaiknya?", tanyanya manja tak kuasa menahan tangis.

"Oke, gini aja, menurutku sebaiknya begini,……" Sahabatnya ini memaparkan sarannya sembari berusaha menguatkannya.

"Aku tahu, kamu kesal dengan dirimu karena merasa begitu rapuh saat ini dan mungkin kamu merasa kualitas hidupmu menurun sekarang ini. Padahal dulu saat kami masih ada di dekatmu, kita fine-fine aja mengahadapi semuanya. Aku tahu, aku paham, karena aku pun telah mengalaminya. Karena itu aku paham bagaimana perasaanmu. Di sini pun aku belum menemukan orang-orang seperti kalian. Tapi kita masih bisa saling telfon kan?", kata sahabatnya di seberang.

"Kamu tahu?", tanyanya kemudian.

 "Apa?", jawab sahabatnya ingin tahu.

"Aku semalam baru saja memikirkannya, pagi tadi sempat terlintas sebentar, dan siang ini kamu mengatakannya padaku". Jawabnya.

"Ya, kita masih bisa telfon kok untuk saling menguatkan", sahut sahabatnya.



Dan saat telfon akan berakhir ingin sekali dia mengucapkan "Oke, thank you, love you"


                                             _________________________________


Apapun itu dia harus mengahadapi kenyataan. Jalan hidup terus berputar, dan kenyataannya adalah kita tak bisa terus berada di sisi sahabat kita. Saat ini, dia harus bisa berdiri di atas kakinya sendiri, tidak harus dengan topangan sahabat-sahabatnya itu. Dia harus yakin dan kuat. Dia tak boleh lagi berharap pada makhluk, tapi pada sumber kekuatan itu sendiri, Sang Pencipta.


*040711
**Gee Chan, arigatou…

aoi

0 komentar:

Posting Komentar