Selasa, 29 November 2011

Apa artinya kehilangan belahan jiwa?


Sedang ingin membahas 'hal' ini saja. Mengingat hari Minggu kemarin, 4 berita duka sampai padaku berturut-turut. Masnya seorang kawan yang meninggal Minggu dini hari (belum genap 10 hari menikah). Temannya sobatku yang meninggal saat melahirkan. Suaminya Mbak yang biasa ikut bekerja di kosan. Dan Suaminya sobatnya kawan (istrinya sedang hamil).

Intinya tentang teman hidup dalam sebuah pernikahan.

Lagi inget sesuatu aja. Terinspirasi dari mbak Ida-begitu kami menyapa. Mbak yang luar biasa, yang sehari-hari membantu pekerjaan rumah tangga di kosan kami. Khusus untuk anak kosan bukan ibu kosan.

Sekitar 2 hari menjelang kepergian suaminya, pagi hari mbak Ida masih masuk kerja seperti biasa. Mungkin saat itu suaminya sudah sakit, dan mbak Ida punya firasat.

Kami kira asam urat suaminya kambuh, ternyata saat itu sedang muntaber, begitu katanya. Intinya cairan keluar terus, baik dari BAB maupun air seni yang menghitam; nggak bisa masuk air minum karena muntah terus, seakan menolak. Diajak ke RS, nggak mau. Baru mau Minggu pagi. Dan habis sebelas infus dalam waktu satu jam. Mungkin kekurangan cairan akut. Menjelang Zuhur, sudah tidak ada.

Dua hari menjelang kepergian suaminya itu, mbak Ida sempat bilang ke temanku "Kalau Bapak nggak ada, gimana ya, Neng? Mbak sih bukan takut nggak ada teman tidur, tapi lebih ke nggak ada teman buat cerita, buat curhat. Mbak mending capek badan, tenang bapak di rumah daripada jadi janda. Nggak mau." (Mbak Ida sama suaminya beda 17 tahun. Pas suaminya sakit, mbak Ida sempat bilang ke suaminya "Nanti kalau bapak udah sehat, bapak nggak usah kerja lagi, di rumah aja. Biar Mama aja yang kerja.")

Yang perlu dicatat: teman buat cerita, buat curhat.


Kisah lainnya tentang LDR-nya pasangan paruh baya yang sebenarnya sudah pensiun. Tapi memang belum ingin pensiun. Sang suami memang tiap hari telepon si istri. Entah pagi atau malam hari, bahkan kadang siang hari. Si istri sih seneng-seneng aja ditelepon, tapi terkadang agak 'mengganggu' juga menurut pengakuan si istri ini. Karena memang terkadang sang suami kalau telepon nggak terlalu penting sih pertanyaannya. Terutama kalau siang-siang, kangen aja kali ya… ^_^

Kadang kalau pas 'telepon ga penting' sang suami datang lagi atau pas telepon topik yang dibicarakan adalah masalah kerjaan (yang nota bene si istri lebih jadi pendengar kalau gini), si istri bertanya,
"Telepon begini nih, kenapa sih, Pah?"
"Ya pengen cerita aja, kan perlu tukar pikiran, ada yang diajak ngomong."

Si istri mikirnya, kalau masalah kerjaan, apa ya ga ada di sana yang bisa diajak sharing. Hehehe…

Hal yang perlu dicatat adalah: perlu tukar pikiran.


Kisah berikutnya, pengakuan seorang teman yang pernikahannya 'menarik' buatku. Dia belum mencintai calon suaminya saat akan menikah itu, terlebih merasa bukan tipenya. Dia sampai bilang ke calon suaminya saat itu. "Tapi aku tidak cinta kamu, Mas", eh Masnya malah bilang, "Ya nggak apa-apa, siapa tahu pas udah nikah, kamu jatuh cinta padaku". Masnya emang sayang banget sama sang teman ini.

Intinya saat itu dia belum berpikir untuk menikah, belum mau menikah saat itu, terlebih baru patah hati dari orang lain. Bapaknyalah yang menyuruhnya menikah, ini orang baik kata bapaknya. Akhirnya setelah petunjuk istikharahnya menuju pada si Mas ini, dan berpikir, "Kapan lagi aku membahagiakan orang tuaku?" dia menerima si Mas ini, walau belum ada cinta. Sekarang sih udah jatuh cinta dia, lagi hamil pula. Hehehe….

Terus katanya, "Ya lebih enak sih, karena ada teman buat berbagi, buat cerita, jadi nggak dipikul sendiri kalau ada masalah". Walau dari segi ekonomi mereka masih berjuang, tapi terasa lebih ringan aja. Dan Alhamdulillah, suaminya memang orang baik.

Sehari-dua hari menjelang dia akad, teman-temannya agak ketar-ketir juga. Dia baru mudik seminggu menjelang hari H. dan itu pun tidak pulang ke rumah, tapi ke rumah kakaknya dulu (ngambek ceritanya). Baru H-1 pulang ke rumah. Karena dia belum mau nikah saat itu. Teman-temanya cuma bisa support dia, dan mengingatkan, beneran udah dipikirin matang-matang? Siap lahir batin? Udah istikharah kan?

Subhanallah sobat, sungguh berbesar hati sekali dirimu. Seperti kata Mario Teguh, "Cinta Anda akan mulia saat mencintai orang yang sulit Anda cintai"

Dicatat lagi: ada teman buat berbagi.


Kisah terakhir.

Beberapa tahun yang lalu, mama salah satu sobatku meninggal dunia. Belum ada setengah tahun berlalu, sobatku ini mengabarkan kalau papanya mau menikah lagi. Terus terang dia dan kakaknya tidak setuju. Tapi papanya tetap ingin. Sempat crash juga dia sama papanya gara-gara ini. Mungkin dia masih kepikiran mamanya. Waktu itu aku cuma bilang, "Ya mungkin kita sebagai anak juga egois, kita mungkin juga tak tahu apa sebenarnya yang dibutuhkan orang tua kita"

Sebenarnya dia nggak terlalu masalah papanya nikah lagi (walau sebenarnya kalau boleh milih, nggak ingin). Mengingat ibu barunya juga sosok ibu yang baik, dan menurutnya sesuai dengan keinginan mamanya dahulu. Yang dia permasalahkan adalah waktu! Dia pengennya nanti, tapi mungkin papanya perlu segera pendamping untuk membantunya dalam tugas sehari-hari. Berbagi peran.

Kebayang sih, saat itu kakaknya juga akan nikah dan tinggal di luar kota, sedangkan dia saat itu juga masih kuliah di luar kota. Di rumah cuma ada papa seorang. Padahal tugas di 'kantor' lumayan berat. Dengan berjalannya waktu, akhirnya dia lebih mengerti, papanya memang perlu pendamping segera, untuk segera pula membantu beliau. Bukan berarti tidak setia pada mamanya. Sekarang sih dia sudah bisa menerima.


Aku memang pernah membaca sebuah artikel di majalah, untuk hal-hal seperti ini, misal perceraian (terutama karena kematian), seorang wanita pada umumnya lebih kuat (mental) daripada seorang pria. Kebanyakan para wanita itu akan tetap sendiri sampai akhir hayatnya sedangkan para pria kebanyakan akan menikah kembali. Hal ini bukan karena para pria itu tidak setia pada pasangannya dahulu, tetapi karena 'butuh'. Menurutku mungkin terkait dengan kemampuan wanita yang dapat bekerja secara multitasking dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan pria tidak. Hanya satu fokus dalam satu waktu. Ini berkaitan dengan susunan syaraf otak yang berbeda pula antara pria dan wanita. ^_^

Lagi, yang perlu dicatat: membantu


Dari semua kisah itu, aku menyimpulkan, kehilangan teman hidup yang paling dikhawatirkan adalah karena kehilangan teman untuk berbagi. Kalau yang lain mungkin masih bisa diakalin untuk diatasi, tapi teman berbagi, agak susah mencari penggantinya.

Hmmm….

aoi

0 komentar:

Posting Komentar