Sedang
ingin membahas 'hal' ini saja. Mengingat hari Minggu kemarin, 4 berita duka
sampai padaku berturut-turut. Masnya seorang kawan yang meninggal Minggu dini
hari (belum genap 10 hari menikah). Temannya sobatku yang meninggal saat
melahirkan. Suaminya Mbak yang biasa ikut bekerja di kosan. Dan Suaminya
sobatnya kawan (istrinya sedang hamil).
Lagi inget sesuatu aja. Terinspirasi dari mbak Ida-begitu kami menyapa. Mbak yang luar biasa, yang sehari-hari membantu pekerjaan rumah tangga di kosan kami. Khusus untuk anak kosan bukan ibu kosan.
Sekitar
2 hari menjelang kepergian suaminya, pagi hari mbak Ida masih masuk kerja
seperti biasa. Mungkin saat itu suaminya sudah sakit, dan mbak Ida punya
firasat.
Kami
kira asam urat suaminya kambuh, ternyata saat itu sedang muntaber, begitu
katanya. Intinya cairan keluar terus, baik dari BAB maupun air seni yang
menghitam; nggak bisa masuk air minum karena muntah terus, seakan menolak.
Diajak ke RS, nggak mau. Baru mau Minggu pagi. Dan habis sebelas infus dalam
waktu satu jam. Mungkin kekurangan cairan akut. Menjelang Zuhur, sudah tidak
ada.
Dua
hari menjelang kepergian suaminya itu, mbak Ida sempat bilang ke temanku
"Kalau Bapak nggak ada, gimana ya, Neng? Mbak sih bukan takut nggak ada
teman tidur, tapi lebih ke nggak ada teman buat cerita, buat curhat. Mbak
mending capek badan, tenang bapak di rumah daripada jadi janda. Nggak
mau." (Mbak Ida sama suaminya beda 17 tahun. Pas suaminya sakit, mbak Ida
sempat bilang ke suaminya "Nanti kalau bapak udah sehat, bapak nggak usah
kerja lagi, di rumah aja. Biar Mama aja yang kerja.")
Yang
perlu dicatat: teman buat cerita, buat curhat.
Kisah
lainnya tentang LDR-nya pasangan paruh
baya yang sebenarnya sudah pensiun. Tapi memang belum ingin pensiun. Sang suami
memang tiap hari telepon si istri. Entah pagi atau malam hari, bahkan kadang
siang hari. Si istri sih seneng-seneng aja ditelepon, tapi terkadang agak 'mengganggu'
juga menurut pengakuan si istri ini. Karena memang terkadang sang suami kalau
telepon nggak terlalu penting sih pertanyaannya. Terutama kalau siang-siang,
kangen aja kali ya… ^_^
Kadang
kalau pas 'telepon ga penting' sang suami datang lagi atau pas telepon topik
yang dibicarakan adalah masalah kerjaan (yang nota bene si istri lebih jadi
pendengar kalau gini), si istri bertanya,
"Telepon begini nih, kenapa sih, Pah?"
"Ya pengen cerita aja, kan perlu tukar pikiran, ada yang
diajak ngomong."
Si
istri mikirnya, kalau masalah kerjaan, apa ya ga ada di sana yang bisa diajak sharing. Hehehe…
Hal
yang perlu dicatat adalah: perlu tukar pikiran.
Kisah
berikutnya, pengakuan seorang teman yang pernikahannya 'menarik' buatku. Dia
belum mencintai calon suaminya saat akan menikah itu, terlebih merasa bukan
tipenya. Dia sampai bilang ke calon suaminya saat itu. "Tapi aku tidak
cinta kamu, Mas", eh Masnya malah bilang, "Ya nggak apa-apa, siapa
tahu pas udah nikah, kamu jatuh cinta padaku". Masnya emang sayang banget
sama sang teman ini.
Intinya
saat itu dia belum berpikir untuk menikah, belum mau menikah saat itu, terlebih
baru patah hati dari orang lain. Bapaknyalah yang menyuruhnya menikah, ini
orang baik kata bapaknya. Akhirnya setelah petunjuk istikharahnya menuju pada
si Mas ini, dan berpikir, "Kapan lagi aku membahagiakan orang tuaku?"
dia menerima si Mas ini, walau belum ada cinta. Sekarang sih udah jatuh cinta
dia, lagi hamil pula. Hehehe….
Terus
katanya, "Ya lebih enak sih, karena ada teman buat berbagi, buat cerita,
jadi nggak dipikul sendiri kalau ada masalah". Walau dari segi ekonomi
mereka masih berjuang, tapi terasa lebih ringan aja. Dan Alhamdulillah,
suaminya memang orang baik.
Sehari-dua
hari menjelang dia akad, teman-temannya agak ketar-ketir juga. Dia baru mudik
seminggu menjelang hari H. dan itu pun tidak pulang ke rumah, tapi ke rumah
kakaknya dulu (ngambek ceritanya). Baru H-1 pulang ke rumah. Karena dia belum
mau nikah saat itu. Teman-temanya cuma bisa support dia, dan mengingatkan,
beneran udah dipikirin matang-matang? Siap lahir batin? Udah istikharah kan?
Subhanallah
sobat, sungguh berbesar hati sekali dirimu. Seperti kata Mario Teguh,
"Cinta Anda akan mulia saat mencintai orang yang sulit Anda cintai"
Dicatat
lagi: ada teman buat berbagi.
Kisah
terakhir.
Beberapa
tahun yang lalu, mama salah satu sobatku meninggal dunia. Belum ada setengah
tahun berlalu, sobatku ini mengabarkan kalau papanya mau menikah lagi. Terus
terang dia dan kakaknya tidak setuju. Tapi papanya tetap ingin. Sempat crash juga dia sama papanya gara-gara ini.
Mungkin dia masih kepikiran mamanya. Waktu itu aku cuma bilang, "Ya
mungkin kita sebagai anak juga egois, kita mungkin juga tak tahu apa sebenarnya
yang dibutuhkan orang tua kita"
Sebenarnya
dia nggak terlalu masalah papanya nikah lagi (walau sebenarnya kalau boleh
milih, nggak ingin). Mengingat ibu barunya juga sosok ibu yang baik, dan
menurutnya sesuai dengan keinginan mamanya dahulu. Yang dia permasalahkan
adalah waktu! Dia pengennya nanti, tapi mungkin papanya perlu segera
pendamping untuk membantunya dalam tugas sehari-hari. Berbagi peran.
Kebayang
sih, saat itu kakaknya juga akan nikah dan tinggal di luar kota, sedangkan dia
saat itu juga masih kuliah di luar kota. Di rumah cuma ada papa seorang.
Padahal tugas di 'kantor' lumayan berat. Dengan berjalannya waktu, akhirnya dia
lebih mengerti, papanya memang perlu pendamping segera, untuk segera pula
membantu beliau. Bukan berarti tidak setia pada mamanya. Sekarang sih dia sudah
bisa menerima.
Aku
memang pernah membaca sebuah artikel di majalah, untuk hal-hal seperti ini, misal
perceraian (terutama karena kematian), seorang wanita pada umumnya lebih kuat
(mental) daripada seorang pria. Kebanyakan para wanita itu akan tetap sendiri
sampai akhir hayatnya sedangkan para pria kebanyakan akan menikah kembali. Hal
ini bukan karena para pria itu tidak setia pada pasangannya dahulu, tetapi
karena 'butuh'. Menurutku mungkin terkait dengan kemampuan wanita yang dapat
bekerja secara multitasking dalam waktu
yang bersamaan. Sedangkan pria tidak. Hanya satu fokus dalam satu waktu. Ini
berkaitan dengan susunan syaraf otak yang berbeda pula antara pria dan wanita.
^_^
Lagi,
yang perlu dicatat: membantu
Dari
semua kisah itu, aku menyimpulkan, kehilangan
teman hidup yang paling dikhawatirkan adalah karena kehilangan teman untuk berbagi. Kalau yang lain
mungkin masih bisa diakalin untuk diatasi, tapi teman berbagi, agak susah
mencari penggantinya.
Hmmm….
aoi
0 komentar:
Posting Komentar